PEREMPUAN DAN
FEMINISME DI INDONESIA
Oleh: Bambang Aris Kartika
Wacana mengenai pemberdayaan
perempuan menjadi salah satu isu penting di tengah euforia demokratisasi.
Selama ini ada anggapan bahwa pola interaksi dan hubungn antara perempuan dan
laki-laki sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang cenderung melihat dari
segi kekuatan dan kekuasaan, baik secara kultural, struktural, dan agama
terpusat pada laki-laki. Struktur yang seperti itu cenderung menjadikan
perempuan berada di posisi terpinggirkan dan senantiasa menjadi subordinat bagi
peran laki-laki. Kondisi inilah yang menjadi penyebab utama semakin seringnya
praktik-praktik penindasan serta diskriminasi terhadap perempuan di seluruh
aspek kehidupan, baik di dalam rumah tangga, masyarakat, maupun negara.
Berdasarkan pandangan terhadap fakta tersebut , ada keinginan perempuan (disebut
kaum feminis) untuk mendobrak peran lelaki dengan mengangkat isu kehidupan yang
ada berdasarkan sisi kesamaan dan keterbukaan, dimana akses pengetahuan menjadi
wilayah terbuka yang selama ini dimonopoli oleh lelaki.
Selalu ada perbedaan identitas primordial ketika membaca suatu fenomena
sosial. Norma yang berlaku dan berkembang di dalam suatu kelompok atau
komunitas tersebut menjadi acuan yang sangat penting bahkan sakral karena tidak
dapat diganggu gugat. Bahasan mengenai gender merupakan salah satu fenomena
sosial yang menarik. Feminisme merupakan suatu doktrin yang menjadi dasar
gerakan persamaan peluang atau hak bagi kaum lelaki dan perempuan. Jika kita
mengkaitkan doktrin ini di Indonesia dengan budaya Indonesia, bangsa ini
mungkin lebih maju karena walaupun pergerakan feminisme di Indonesia baru mulai
bergairah pada akhir abad ke-20.
Feminisme lebih dikenal sebagai gerakan untuk memperjuangkan kesetaraan
atau keadilan gender di tengah-tengah masyarakat. Menurut analisis feminisme,
ketidakadilan gender muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap konsep gender
yang disamakan dengan konsep seks. Konsep seks merupakan suatu sifat yang kodrati,
alami, dan dibawa sejak lahir. Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat
alamiah atau kodrati tetapi melekatnya sifat-sifat tertentu kepada laki-laki
dan perempuan (misalnya sifat lembut perempuan lebih cocok berperan di dalam
rumah tangga dan sifat kuat laki-laki membuat mereka cocok berperan di ranah
publik) sebagai hasil bentukan sosial dan kultural yang telah melalui proses
panjang. Karena memiliki proses yang panjang, sifat-sifat tersebut akhirnya
dianggap harus diterima begitu saja. Menurut feminisme, saat konstruksi sosial
dan kultural yang ada dianggap merugikan perempuan, perempuan harus disadarkan
bahwa konstruksi sosial terebut harus diubah karena tidak bersifat kodrati.
Ketika konstruksi sosial itu terbangun dari ajaran-ajaran agama, maka
ajaran-ajaran agama itu yang harus ditinggalkan atau diubah agar menghasilkan
konstruksi sosial yang diharapkan.
Dewasa ini di Indonesia, imej perempuan bagi kelas menengah tidak
lagi dilihat lebih rendah dari kaum lelaki. Bahkan dalam situasi tertentu kaum
perempuan di kelas menengah dipandang lebih hormat dan disegani oleh kaum
lelaki. Hal tersebut tidak saja dipandang dari sudut kekuasaan, baik ekonomi
maupun politik, tetapi juga di dalam rumah tangga mereka. Banyaknya perempuan
sekarang yang memiliki peluang untuk melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya
telah mengangkat imej mereka dalam suatu prestise atau dapat dikatakan mereka
memiliki martabat yang lebih tinggi. Imej ini sendiri terbagi ke dalam dua
bagian, yaitu imej prestise dan imej kekuasaan. Bagi perempuan Indonesia saat
ini, imej prestise telah terangkat ke permukaan, tetapi imej kekuasaan sedang
diperjuangkan. Tentu saja imej kekuasaan dapat tercapai bila imej prestise
telah terbentuk. Artinya imej kekuasaan yang akan terbentuk dipengaruhi oleh
imej prestise yang sudah terbentuk sebelumnya. Untuk saat ini perempuan
Indonesia telah memulainya dengan benar, paling tidak secara teoritis mendapat
dukungan.
Secara sosiologis, feminisme sering
melihat perempuan itu dalam dua sisi. Pertama adalah ruang publik dan kedua
adalah sektor rumah tangga. Di dalam ruang publik atau ranah umum, imej
prestise secara perlahan dan pasti telah terbentuk. Seperti yang telah
dijelaskan tadi bahwa pendidikanlah yang membawa perempuan ke taraf pembentukan
imej prestise yang kuat. Dalam ruang publik kekuatan perempuan dalam imej
prestisenya ditunjukkan oleh kekuatan intelektual. Secara alamiah
intelektualitas, dalam hal ini adalah kapasitas otak, antara lelaki dengan
perempuan tidak berbeda sama sekali. Sistem pendidikan yang tidak membatasi
peluang perempuan telah membawa mereka ke imej prestise yang sejajar dengan
kaum lelaki.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa ada beberapa hal yang dapat digali
untuk mendalami persoalan feminisme di Indonesia. Di kelas menengah akan kita
lihat peranan perempuan di bagian imej kekuasaan yang mungkin belum beranjak
maju, kecuali karena adanya situasi politik yang kental, yakni saat Megawati,
seorang perempuan dan ibu rumah tangga memegang kekuasaan puncak di Indonesia
kurang lebih selama tiga tahun. Di posisi kekuasaan lain, dalam jajaran
menteri, gubernur, bupati, walikota, pejabat eselon, anggota DPR (pusat,
propinsi, dan tingkat II), DPD, lembaga pendidikan, anggota pengurus partai
politik dan organisasi sosial, imej kekuasaan jarang ditemukan sosoknya. Hal
lain lagi adalah imej prestise dan imej kekuasaan di kelas yang lebih bawah. Di
kalangan perempuan yang belum berpendidikan cukup tinggi dan dengan demikian
memiliki kemampuan intelektualitas yang terbatas, akan ditemui imej prestise
dan imej kekuasaan yang lemah baik di ruang rumah tangga maupun ruang publik.
Berbicara mengenai pendidikan, di
Indonesia, sektor pendidikan memberi peluang yang sama kepada kaum lelaki dan
perempuan. Di samping itu, para orang tua, khususnya kelas menengah ke atas
tidak akan mungkin memiliki keinginan untuk membatasi pendidikan bagi anak-anak
mereka, baik lelaki maupun perempuan. Oleh karena itu kita dapat melihat di
ruang-ruang kelas di sekolah maupun perguruan tinggi dipenuhi oleh kaum perempuan
yang menuntut ilmu. Dalam banyak kesempatan, misal dalam wisuda, kaum perempuan
sering dinyatakan sebagai yang terbaik di kalangan lelaki dan perempuan itu
sendiri. Namun demikian, di beberapa wilayah Indonesia, terutama pada
keluarga-keluarga yang berpendidikan kurang, resiko terjadi pada kaum perempuan
ini. Masih banyak ditemui kaum perempuan muda yang dikawinkan dalam usia muda,
yakni usia sekolah menengah bahkan usia sekolah dasar. Kasus seperti ini tentu
sangat menyedihkan, terlebih ketika diketahui penyebabnya bukan hanya karena
rendahnya pendidikan orang tua, tetapi lebih karena kemiskinan. Fakta berbicara
bahwasanya besarnya keinginan orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke tingkat
yang lebih tinggi tetapi seringkali terkendala oleh kemiskinan keluarga. Bukan
hanya karena tidak tersedia dana untuk masuk atau biaya bulanan sekolah, tetapi
yang lebih parah adalah adanya pemikiran bahwa sekolah akan membuat keluarga
melarat. Sebaliknya, jika segera dikawinkan paling tidak keluarga itu
terbebaskan dari beban pengeluaran karena anggota keluarga mereka berkurang.
Harapan lebih adalah jika sang anak dikawini oleh seseorang yang lebih berada
maka akan meningkatkan prestise dan kesejahteraan mereka. Dari hal tersebut,
dilihat bahwa analisis feminisme bertumpu pada pandangan struktural daripada
kultural.
Lelaki dan perempuan adalah sosok
biologi dan sosial yang saling membutuhkan satu sama lain yang kemudian terjadi suatu mekanisme hingga muncul adanya
kontrak perkawinan. Memang ada gejala yang menunjukkan perempuan ‘menolak’
disposisi kebutuhan tersebut dan mengambil keputusan untuk hidup tanpa lelaki.
Hal ini dapat terjadi karena adanya sebab-sebab psikologis dari perempuan
tersebut. Demikian juga dalam kasus penyimpangan biologis dan psikologis yang
dialami kaum perempuan menjadi kendala bagi mereka untuk memenuhi disposisi
demikian itu. Jumlah mayoritas yang ‘normal’ diperkirakan masih stabil, bahkan
di negara-negara maju sekalipun dimana diperkirakan karena faktor sosial
ekonomi, kaum perempuan menjadi semakin mandiri dan kurang membutuhkan ikatan
perkawinan (meskipun secara diam-diam tetap mebutuhkan hubungan seksual dan
sosial dengan kaum lelaki). Kalau pun mereka kawin, tidak lebih sekedar “kawin
kontrak” untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Tidak heran jika angka
perceraian di negara-negara maju tersebut meningkat dari tahun ke tahun.
Tingginya angka perceraian ini dapat menyebabkan perempuan kehilangan
perlindungan secara finansial.
Pandangan kaum lelaki terhadap kaum
perempuan memiliki pengaruh bagaimana perempuan kemudian memandang dirinya dan
dari pandangan tersebut terbentuk suatu sikap untuk melakukan tindakan sosial
dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya. Orang menyebutnya sebagai bentuk
budaya yang turun temurun dipraktikan sehingga banyak orang yang menerima
begitu saja tanpa perlu mempertanyakan sebabnya. Sebagai contoh adalah
bagaimana pandangan konvensional kebanyakan lelaki terhadap seorang perempuan
idamannya, seperti kecantikan dan sifat yang dimiliki oleh perempuan tersebut.
Pandangan lain dari kaum lelaki yang memengaruhi pandangan perempuan terhadap
dirinya adalah pendidikan dan kedudukan. Sebenarnya bagi kaum lelaki,
pendidikan dan kedudukan yang tinggi dari seorang perempuan tidaklah menjadi
persoalan besar, bahkan bagi kalangan lelaki yang berpendidikan dan
berkedudukan tinggi tentu ingin pasangannya setara. Akan tetapi, jumlah lelaki
yang memiliki pendidikan dan kedudukan demikian tidaklah terlalu banyak dan
umumnya sebelum mencapai pendidikan yang tinggi dan kedudukan yang tinggi pula,
mereka telah beristri. Masa sekarang kemungkinan besar, pendidikan S1 adalah
pendidikan minimal, bukan lagi ‘pendidikan tinggi’ dalam pengertian masa
sepuluh tahun sebelumnya. Orang yang berpendidikan tinggi dewasa ini dipandang
sekurang-kurangnya berpendidikan strata dua (S2). Dengan jumlah terbatas dan
ada pandangan seperti di atas, tentu mempersempit peluang kaum perempuan
berpendidikan tinggi memperoleh pasangan yang setara. Adapun bagi kaum lelaki
yang pendidikannya lebih rendah mungkin akan menjadi minder atau merasa malu
untuk berhubungan dengan dengan kaum perempuan yang memiliki pendidikan dan
kedudukan tinggi. Sebaliknya, perempuan dengan pendidikan dan kedudukan tinggi
tentu lebih menginginkan pasangan yang setara dengan mereka. Ini berarti bahwa
perubahan struktural tidak atau belum mampu mengalahkan faktor psiko-kultural
di dalam masyarakat kita. Hal ini akan menghambat kebebasan kaum perempuan untuk
berkembang setinggi-tingginya.
Namun disamping bahasan atau
wacana-wacana di atas, diakui atau tidak paham feminisme di Indonesia masih
sebatas wacana dan khayalan karena belum sampai pada pengimplementasian di
dalam kehidupan konkrit. Konsep feminisme di Indonesia cenderung ditujukan pada
kaum perempuan yang suka berpakaian minim atau “terbuka” di bagian atas atau
bagian bawah. Padahal yang dimaksud deangan feminisme adalah sebuah pergerakan
agar menjadi bebas sehingga mampu menemukan eksistensi diri yang sebenarnya.
Seorang perempuan dapat dikatakan feminis bila ia mampu membebaskan dirinya
dari dominasi kaum lelaki dan tafsiran sosial-politik-budaya-agama yang
membelenggu dirinya. Jika dilihat hingga saat ini sepertinya belum ada
perempuan Indonesia yang demikian.
Dari hal tersebut dapat dinyatakan
bahwa sepertinya iklim Indonesia kurang cocok untuk kaum feminis. Faktor
penyebab utama adalah ajaran agama tertentu yang cenderung membatasi gerak
langkah perempuan. Adanya pernyataan bahwa “perempuan tidak pantas menjadi
pemimpin” adalah salah satu contohnya, khususnya dalam ranah politik. Di saat
memasuki ranah politik untuk memilih kepala daerah secara langsung yang konon
menjanjikan kebebasan dan demokratisasi, isu agama masih digunakan sebagai alat
politik untuk menjegal kaum perempuan agar tidak terpilih menjadi kepala daerah
atau bahkan kepala pemerintahan. Akibat dari hal ini adalah akses perempuan
menjadi semakin sempit dalam mengambil keputusan. Padahal banyak kebijakan
politik, ekonomi bahkan agama itu sendiri mempunyai pengaruh bagi kehidupan
kaum perempuan. Parahnya, perumusan dari kebijakan politik dan ekonomi
seringkali tidak mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan kaum perempuan.
Sebagai contoh adalah kasus busung lapar, berawal dari terbatasnya akses kaum
perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Meski kaum perempuan tahu dan sadar
bahwa anak-anak mereka menderita busung lapar namun kemampuan mereka sangat
terbatas dalam proses pengambilan keputusan untuk menyelamatkan anak-anak
mereka. Keinginan untuk melepaskan diri dari jeratan kemiskinan sulit terwujud
karena mereka tidak diberi peran aktif dalam pembuatan kebijakan.
Padahal, sebenarnya kaum perempuan
di dalam komunitas masyarakat miskin mempunyai peranan yang penting dalam
menyangga kehidupan rumah tangga. Cara bertahan hidup rumah tangga miskin
sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan kaum perempuan, terutama ibu.
Kita tahu bahwa kualitas tumbuh-kembang anak lebih tergantung pada ibu. Ibu
yang mengandung, menyusui, merawat, mengasuh, mendidik, dan membesarkan
anak-anaknya. Saat anak mereka sakit, para ibu tidak segan untuk berjalan kaki
demi dan untuk anaknya padahal tempat sarana pelayanan kesehatan sangat jauh.
Walaupun dapat kita lihat peranan ibu dalam menjaga kelangsungan hidup rumah
tangga namun kemampuan kaum ibu dalam proses pengambilan keputusan sangat terbatas
dan dibatasi. Akibatnya, peran kaum perempuan sebagai “penyelamat” keluarga
kurang optimal. Salah satu faktor penyebabnya adalah penafisiran ajaran agama
yang menganggap perempuan tidak pantas menjadi pemimpin. Padahal, cita-cita
keadilan sosial, kesejahteraan dan kemakmuran sangat tergantung pada kebijakan
pemimpin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar