Total Halaman yg ditampilkan

27 Desember 2011

WANITA INDONESIA DAN FEMINISME


PEREMPUAN DAN FEMINISME DI INDONESIA
Oleh: Bambang Aris Kartika

            Wacana mengenai pemberdayaan perempuan menjadi salah satu isu penting di tengah euforia demokratisasi. Selama ini ada anggapan bahwa pola interaksi dan hubungn antara perempuan dan laki-laki sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang cenderung melihat dari segi kekuatan dan kekuasaan, baik secara kultural, struktural, dan agama terpusat pada laki-laki. Struktur yang seperti itu cenderung menjadikan perempuan berada di posisi terpinggirkan dan senantiasa menjadi subordinat bagi peran laki-laki. Kondisi inilah yang menjadi penyebab utama semakin seringnya praktik-praktik penindasan serta diskriminasi terhadap perempuan di seluruh aspek kehidupan, baik di dalam rumah tangga, masyarakat, maupun negara. Berdasarkan pandangan terhadap fakta tersebut , ada keinginan perempuan (disebut kaum feminis) untuk mendobrak peran lelaki dengan mengangkat isu kehidupan yang ada berdasarkan sisi kesamaan dan keterbukaan, dimana akses pengetahuan menjadi wilayah terbuka yang selama ini dimonopoli oleh lelaki.
Selalu ada perbedaan identitas primordial ketika membaca suatu fenomena sosial. Norma yang berlaku dan berkembang di dalam suatu kelompok atau komunitas tersebut menjadi acuan yang sangat penting bahkan sakral karena tidak dapat diganggu gugat. Bahasan mengenai gender merupakan salah satu fenomena sosial yang menarik. Feminisme merupakan suatu doktrin yang menjadi dasar gerakan persamaan peluang atau hak bagi kaum lelaki dan perempuan. Jika kita mengkaitkan doktrin ini di Indonesia dengan budaya Indonesia, bangsa ini mungkin lebih maju karena walaupun pergerakan feminisme di Indonesia baru mulai bergairah pada akhir abad ke-20.
Feminisme lebih dikenal sebagai gerakan untuk memperjuangkan kesetaraan atau keadilan gender di tengah-tengah masyarakat. Menurut analisis feminisme, ketidakadilan gender muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep seks. Konsep seks merupakan suatu sifat yang kodrati, alami, dan dibawa sejak lahir. Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat alamiah atau kodrati tetapi melekatnya sifat-sifat tertentu kepada laki-laki dan perempuan (misalnya sifat lembut perempuan lebih cocok berperan di dalam rumah tangga dan sifat kuat laki-laki membuat mereka cocok berperan di ranah publik) sebagai hasil bentukan sosial dan kultural yang telah melalui proses panjang. Karena memiliki proses yang panjang, sifat-sifat tersebut akhirnya dianggap harus diterima begitu saja. Menurut feminisme, saat konstruksi sosial dan kultural yang ada dianggap merugikan perempuan, perempuan harus disadarkan bahwa konstruksi sosial terebut harus diubah karena tidak bersifat kodrati. Ketika konstruksi sosial itu terbangun dari ajaran-ajaran agama, maka ajaran-ajaran agama itu yang harus ditinggalkan atau diubah agar menghasilkan konstruksi sosial yang diharapkan.
            Dewasa ini di Indonesia, imej perempuan bagi kelas menengah tidak lagi dilihat lebih rendah dari kaum lelaki. Bahkan dalam situasi tertentu kaum perempuan di kelas menengah dipandang lebih hormat dan disegani oleh kaum lelaki. Hal tersebut tidak saja dipandang dari sudut kekuasaan, baik ekonomi maupun politik, tetapi juga di dalam rumah tangga mereka. Banyaknya perempuan sekarang yang memiliki peluang untuk melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya telah mengangkat imej mereka dalam suatu prestise atau dapat dikatakan mereka memiliki martabat yang lebih tinggi. Imej ini sendiri terbagi ke dalam dua bagian, yaitu imej prestise dan imej kekuasaan. Bagi perempuan Indonesia saat ini, imej prestise telah terangkat ke permukaan, tetapi imej kekuasaan sedang diperjuangkan. Tentu saja imej kekuasaan dapat tercapai bila imej prestise telah terbentuk. Artinya imej kekuasaan yang akan terbentuk dipengaruhi oleh imej prestise yang sudah terbentuk sebelumnya. Untuk saat ini perempuan Indonesia telah memulainya dengan benar, paling tidak secara teoritis mendapat dukungan.
            Secara sosiologis, feminisme sering melihat perempuan itu dalam dua sisi. Pertama adalah ruang publik dan kedua adalah sektor rumah tangga. Di dalam ruang publik atau ranah umum, imej prestise secara perlahan dan pasti telah terbentuk. Seperti yang telah dijelaskan tadi bahwa pendidikanlah yang membawa perempuan ke taraf pembentukan imej prestise yang kuat. Dalam ruang publik kekuatan perempuan dalam imej prestisenya ditunjukkan oleh kekuatan intelektual. Secara alamiah intelektualitas, dalam hal ini adalah kapasitas otak, antara lelaki dengan perempuan tidak berbeda sama sekali. Sistem pendidikan yang tidak membatasi peluang perempuan telah membawa mereka ke imej prestise yang sejajar dengan kaum lelaki.  
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa ada beberapa hal yang dapat digali untuk mendalami persoalan feminisme di Indonesia. Di kelas menengah akan kita lihat peranan perempuan di bagian imej kekuasaan yang mungkin belum beranjak maju, kecuali karena adanya situasi politik yang kental, yakni saat Megawati, seorang perempuan dan ibu rumah tangga memegang kekuasaan puncak di Indonesia kurang lebih selama tiga tahun. Di posisi kekuasaan lain, dalam jajaran menteri, gubernur, bupati, walikota, pejabat eselon, anggota DPR (pusat, propinsi, dan tingkat II), DPD, lembaga pendidikan, anggota pengurus partai politik dan organisasi sosial, imej kekuasaan jarang ditemukan sosoknya. Hal lain lagi adalah imej prestise dan imej kekuasaan di kelas yang lebih bawah. Di kalangan perempuan yang belum berpendidikan cukup tinggi dan dengan demikian memiliki kemampuan intelektualitas yang terbatas, akan ditemui imej prestise dan imej kekuasaan yang lemah baik di ruang rumah tangga maupun ruang publik.
            Berbicara mengenai pendidikan, di Indonesia, sektor pendidikan memberi peluang yang sama kepada kaum lelaki dan perempuan. Di samping itu, para orang tua, khususnya kelas menengah ke atas tidak akan mungkin memiliki keinginan untuk membatasi pendidikan bagi anak-anak mereka, baik lelaki maupun perempuan. Oleh karena itu kita dapat melihat di ruang-ruang kelas di sekolah maupun perguruan tinggi dipenuhi oleh kaum perempuan yang menuntut ilmu. Dalam banyak kesempatan, misal dalam wisuda, kaum perempuan sering dinyatakan sebagai yang terbaik di kalangan lelaki dan perempuan itu sendiri. Namun demikian, di beberapa wilayah Indonesia, terutama pada keluarga-keluarga yang berpendidikan kurang, resiko terjadi pada kaum perempuan ini. Masih banyak ditemui kaum perempuan muda yang dikawinkan dalam usia muda, yakni usia sekolah menengah bahkan usia sekolah dasar. Kasus seperti ini tentu sangat menyedihkan, terlebih ketika diketahui penyebabnya bukan hanya karena rendahnya pendidikan orang tua, tetapi lebih karena kemiskinan. Fakta berbicara bahwasanya besarnya keinginan orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi tetapi seringkali terkendala oleh kemiskinan keluarga. Bukan hanya karena tidak tersedia dana untuk masuk atau biaya bulanan sekolah, tetapi yang lebih parah adalah adanya pemikiran bahwa sekolah akan membuat keluarga melarat. Sebaliknya, jika segera dikawinkan paling tidak keluarga itu terbebaskan dari beban pengeluaran karena anggota keluarga mereka berkurang. Harapan lebih adalah jika sang anak dikawini oleh seseorang yang lebih berada maka akan meningkatkan prestise dan kesejahteraan mereka. Dari hal tersebut, dilihat bahwa analisis feminisme bertumpu pada pandangan struktural daripada kultural.
            Lelaki dan perempuan adalah sosok biologi dan sosial yang saling membutuhkan satu sama lain yang kemudian  terjadi suatu mekanisme hingga muncul adanya kontrak perkawinan. Memang ada gejala yang menunjukkan perempuan ‘menolak’ disposisi kebutuhan tersebut dan mengambil keputusan untuk hidup tanpa lelaki. Hal ini dapat terjadi karena adanya sebab-sebab psikologis dari perempuan tersebut. Demikian juga dalam kasus penyimpangan biologis dan psikologis yang dialami kaum perempuan menjadi kendala bagi mereka untuk memenuhi disposisi demikian itu. Jumlah mayoritas yang ‘normal’ diperkirakan masih stabil, bahkan di negara-negara maju sekalipun dimana diperkirakan karena faktor sosial ekonomi, kaum perempuan menjadi semakin mandiri dan kurang membutuhkan ikatan perkawinan (meskipun secara diam-diam tetap mebutuhkan hubungan seksual dan sosial dengan kaum lelaki). Kalau pun mereka kawin, tidak lebih sekedar “kawin kontrak” untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Tidak heran jika angka perceraian di negara-negara maju tersebut meningkat dari tahun ke tahun. Tingginya angka perceraian ini dapat menyebabkan perempuan kehilangan perlindungan secara finansial.
            Pandangan kaum lelaki terhadap kaum perempuan memiliki pengaruh bagaimana perempuan kemudian memandang dirinya dan dari pandangan tersebut terbentuk suatu sikap untuk melakukan tindakan sosial dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya. Orang menyebutnya sebagai bentuk budaya yang turun temurun dipraktikan sehingga banyak orang yang menerima begitu saja tanpa perlu mempertanyakan sebabnya. Sebagai contoh adalah bagaimana pandangan konvensional kebanyakan lelaki terhadap seorang perempuan idamannya, seperti kecantikan dan sifat yang dimiliki oleh perempuan tersebut. Pandangan lain dari kaum lelaki yang memengaruhi pandangan perempuan terhadap dirinya adalah pendidikan dan kedudukan. Sebenarnya bagi kaum lelaki, pendidikan dan kedudukan yang tinggi dari seorang perempuan tidaklah menjadi persoalan besar, bahkan bagi kalangan lelaki yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi tentu ingin pasangannya setara. Akan tetapi, jumlah lelaki yang memiliki pendidikan dan kedudukan demikian tidaklah terlalu banyak dan umumnya sebelum mencapai pendidikan yang tinggi dan kedudukan yang tinggi pula, mereka telah beristri. Masa sekarang kemungkinan besar, pendidikan S1 adalah pendidikan minimal, bukan lagi ‘pendidikan tinggi’ dalam pengertian masa sepuluh tahun sebelumnya. Orang yang berpendidikan tinggi dewasa ini dipandang sekurang-kurangnya berpendidikan strata dua (S2). Dengan jumlah terbatas dan ada pandangan seperti di atas, tentu mempersempit peluang kaum perempuan berpendidikan tinggi memperoleh pasangan yang setara. Adapun bagi kaum lelaki yang pendidikannya lebih rendah mungkin akan menjadi minder atau merasa malu untuk berhubungan dengan dengan kaum perempuan yang memiliki pendidikan dan kedudukan tinggi. Sebaliknya, perempuan dengan pendidikan dan kedudukan tinggi tentu lebih menginginkan pasangan yang setara dengan mereka. Ini berarti bahwa perubahan struktural tidak atau belum mampu mengalahkan faktor psiko-kultural di dalam masyarakat kita. Hal ini akan menghambat kebebasan kaum perempuan untuk berkembang setinggi-tingginya.
            Namun disamping bahasan atau wacana-wacana di atas, diakui atau tidak paham feminisme di Indonesia masih sebatas wacana dan khayalan karena belum sampai pada pengimplementasian di dalam kehidupan konkrit. Konsep feminisme di Indonesia cenderung ditujukan pada kaum perempuan yang suka berpakaian minim atau “terbuka” di bagian atas atau bagian bawah. Padahal yang dimaksud deangan feminisme adalah sebuah pergerakan agar menjadi bebas sehingga mampu menemukan eksistensi diri yang sebenarnya. Seorang perempuan dapat dikatakan feminis bila ia mampu membebaskan dirinya dari dominasi kaum lelaki dan tafsiran sosial-politik-budaya-agama yang membelenggu dirinya. Jika dilihat hingga saat ini sepertinya belum ada perempuan Indonesia yang demikian.
            Dari hal tersebut dapat dinyatakan bahwa sepertinya iklim Indonesia kurang cocok untuk kaum feminis. Faktor penyebab utama adalah ajaran agama tertentu yang cenderung membatasi gerak langkah perempuan. Adanya pernyataan bahwa “perempuan tidak pantas menjadi pemimpin” adalah salah satu contohnya, khususnya dalam ranah politik. Di saat memasuki ranah politik untuk memilih kepala daerah secara langsung yang konon menjanjikan kebebasan dan demokratisasi, isu agama masih digunakan sebagai alat politik untuk menjegal kaum perempuan agar tidak terpilih menjadi kepala daerah atau bahkan kepala pemerintahan. Akibat dari hal ini adalah akses perempuan menjadi semakin sempit dalam mengambil keputusan. Padahal banyak kebijakan politik, ekonomi bahkan agama itu sendiri mempunyai pengaruh bagi kehidupan kaum perempuan. Parahnya, perumusan dari kebijakan politik dan ekonomi seringkali tidak mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan kaum perempuan. Sebagai contoh adalah kasus busung lapar, berawal dari terbatasnya akses kaum perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Meski kaum perempuan tahu dan sadar bahwa anak-anak mereka menderita busung lapar namun kemampuan mereka sangat terbatas dalam proses pengambilan keputusan untuk menyelamatkan anak-anak mereka. Keinginan untuk melepaskan diri dari jeratan kemiskinan sulit terwujud karena mereka tidak diberi peran aktif dalam pembuatan kebijakan.
            Padahal, sebenarnya kaum perempuan di dalam komunitas masyarakat miskin mempunyai peranan yang penting dalam menyangga kehidupan rumah tangga. Cara bertahan hidup rumah tangga miskin sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan kaum perempuan, terutama ibu. Kita tahu bahwa kualitas tumbuh-kembang anak lebih tergantung pada ibu. Ibu yang mengandung, menyusui, merawat, mengasuh, mendidik, dan membesarkan anak-anaknya. Saat anak mereka sakit, para ibu tidak segan untuk berjalan kaki demi dan untuk anaknya padahal tempat sarana pelayanan kesehatan sangat jauh. Walaupun dapat kita lihat peranan ibu dalam menjaga kelangsungan hidup rumah tangga namun kemampuan kaum ibu dalam proses pengambilan keputusan sangat terbatas dan dibatasi. Akibatnya, peran kaum perempuan sebagai “penyelamat” keluarga kurang optimal. Salah satu faktor penyebabnya adalah penafisiran ajaran agama yang menganggap perempuan tidak pantas menjadi pemimpin. Padahal, cita-cita keadilan sosial, kesejahteraan dan kemakmuran sangat tergantung pada kebijakan pemimpin.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar