BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Tujuan pendidikan tinggi diatur dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan teknologi dan/atau kesenian.
2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Problematika pendidikan yang terjadi di Indonesia salah satunya adalah terdapatnya kesenjangan yang cukup lebar antara pengetahuan yang dimiliki para mahasiswa dengan sikap dan perilakunya. Banyak mahasiswa yang tahu atau hafal materi perkuliahan, tetapi tidak mampu mengaplikasikan pengetahuannya tersebut bagi peningkatan kualitas kehidupannya. Sebagai contoh, mahasiswa tahu bagaimana berperilaku sosial yang baik, tetapi mereka kurang mampu menghargai orang lain, bertoleransi atau berperilaku sopan. Pengetahuan menjadi sesuatu yang hanya dihafal saja tetapi tidak terpengaruh dalam kehidupannya. Pengetahuan hanya 'mampir' sebentar dan kemudian 'menguap' begitu saja, seolah tidak berbekas dalam kehidupan mahasiswa.
Bisa dikatakan mahasiswa Indonesia menganggap kuliah merupakan sumber pengatahuan utama, bahkan satu-satunya, sehingga catatan kuliah merupakan jimat yang ampuh dan dosen merupakan dewa pengetahuan. Lingkungan belajar seperti ini menempatkan dosen menjadi seperti tukang sulap yang kelihatan pintar tetapi hanya karena mengetahui muslihat-muslihat (tricks) yang sengaja disembunyikannya dan kemudian menjual pengetahuan tersebut melalui loket kuliah. Kekeliruan persepsi ini bukan semata-mata kesalahan mahasiswa, persepsi tersebut dapat timbul justru dari sikap dosen yang secara tidak sadar telah menciptakan kondisi demikian. Akibatnya, mahasiswa kebanyakan mempunyai perilaku untuk hanya datang, duduk,dengar dan catat (D3C). Catatan kuliah dianggap sumber pengetahuan dan bahkan kalau perlu mahasiswa tidak usah datang ke kuliah tetapi cukup dengan mengkopi saja catatan mahasiswa yang lain. Karena pendekatan pengendalian proses belajar-mengajar di kelas yang kurang mendukung, banyak mahasiswa yang merasa nyaman menjadi "mesin dengar kopi". Kalau tujuan individual ingin dicapai secara efektif, maka arti kuliah harus diredefinisi dan dilaksanakan secara konsekuen.
Apabila kita amati cara-cara seseorang dalam belajar, tampak bahwa terdapat variasi di dalam cara belajarnya. Ada yang belajar sambil berada pada kondisi yang ramai, misalnya mendengarkan musik atau menonton televisi. Sebaliknya, ada yang hanya dapat belajar bila suasana sunyi sehingga suara berisik sedikit saja menjadi gangguan dan merusak konsentrasi. Ada pula yang dapat memahami materi hanya dengan duduk tenang, mendengarkan dosen menjelaskan materi perkuliahan. Namun, ada cara belajar dengan membaca berulang-ulang sehingga ada yang betah dalam waktu relatif lama membaca buku di perpustakaan. Variasi cara belajar lain adalah mendiskusikan setiap materi yang sedang berusaha dipelajari, yang berimplikasi pada waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut. Bahkan, ada lagi yang tidak hanya mencatat tetapi mencorat-coret catatannya sedemikian rupa bak ingin memvisualisasikan pemahamannya. Secara umum tipe belajar seseorang dapat diklasifikasikan menjadi :
1. VISUAL yaitu tipe melihat, mudah menghafal syair, lebih mengerti kalau membaca, lebih ingat akan nama teman meskipun panjang berderet-deret.
2. KINESTHETIC yaitu tipe melakukan, mudah menghafal gerakan tari, lebih mengerti jika coba sendiri, suka mencoba hal baru, aktif gerak.
3. AUDITORY yaitu tipe mendengarkan, mudah menghafal nada lagu, lebih mengerti jika diterangkan, suka menggumamkan nada meski baru mendengarnya, lebih mudah ingat akan suara teman.
Perubahan paradigma dalam proses pembelajaran yang tadinya berpusat pada dosen (teacher/lecturer centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (learner centered) diharapkan dapat mendorong mahasiswa untuk terlibat secara aktif dalam membangun pengetahuan, sikap dan perilaku. Melalui proses pembelajaran dengan keterlibatan aktif mahasiswa ini berarti dosen tidak mengambil hak manusia untuk belajar dalam arti yang sesungguhnya. Dalam proses pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa, maka mahasiswa memperoleh kesempatan dan fasilitas untuk membangun sendiri pengetahuannya sehingga mereka akan memperoleh pemahaman yang mendalam (deep learning), dan pada akhirnya dapat meningkatkan mutu kualitas mahasiswa.
Universitas Jember merupakan salah satu perguruan tinggi yang memberlakukan metode pembelajaran student center learning yaitu pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa atau pada peserta didik (belajar mandiri). Mahasiswa menerima pokok materi di pertemuan awal (biasanya pada presentasi Kontrak Perkuliahan), kemudian mahasiswa dibebaskan untuk melakukan observasi mengenai materi yang akan dipelajari. Pada pertemuan/ perkuliahan selanjutnya mahasiswa biasanya diwajibkan untuk mempresentasikan hasil observasi/ belajarnya kepada teman-temannya di kelas, kemudian diadakan diskusi mengenai materi tersebut sementara dosen bertindak sebagai mediator sekaligus moderator. Dosen juga bertugas mengevaluasi diskusi tersebut.
1.2 Perumusan masalah
1. Bagaimana seharusnya Student Centered Learning diterapkan?
2. Bagaimana Student Centered Learning atau pembelajaran mandiri ini benar-benar bisa merubah paradigma belajar mahasiswa secara menyeluruh?
3. Bagaimana pengaruh penerapan Student Centered Learning di bidang prestasi akademik?
1.3 Uraian singkat
Banyak sekali model pembelajaran yang diterapkan dan dikembangkan di dunia pendidikan Indonesia, salah satunya adalah Student Centered Learning. Apakah sebenarnya Student Centered Learning itu? dan bagaimana penerapannya di dunia pendidikan Indonesia. Dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain seperti model Teacher Centered Learning Student Teams - Achievement Divisions (STAD) memang Student Centered Learning unggul di beberapa hal. Namun mampukah Student Centered Learning merubah paradigma belajar di Indonesia.
1.4 Tujuan
1. Untuk mengetahui penerapan Student Centered Learning yang baik dan benar.
2. Untuk mengetahui bisakah Student Centered Learning atau pembelajaran mandiri merubah paradigma belajar mahasiswa secara menyeluruh.
3. Untuk mengetahui pengaruh penerapan Student Centered Learning di bidang prestasi akademik.
1.5 Manfaat
1. Memberikan informasi dan bahan pertimbangan kepada penyelenggara pendidikan untuk menentukan kebijakan dalam pengembangan prestasi akademik.
2. Sebagai masukan bagi para peserta didik dalam mengolah strategi belajar.
3. Memberikan informasi mengenai manfaat dan kelemahan Student Centered Learning.
4. Sebagai tambahan informasi argumentative dan referensi bagi peneliti selanjutnya.
BAB 2
TELAAH PUSTAKA
2.1 Penelitian tentang belajar
Pembelajaran merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan prilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dan pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidikan untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
Dalam proses pembelajaran setidaknya harus melibatkan dua komponen yang saling terkait satu sama lain, yaitu pendidik dan peserta didik. Kedua komponen tersebut satu sama lain saling terkait untuk menciptakan interaksi edukasi guna mencapai suatu tujuan pendidikan. Satu sama lain harus memiliki sense dan point of view yang sama dalam memaknai arti pendidikan. Guru sebagai pendidik berusaha bagaimana mendidik dan menyampaikan materi ajar dengan baik; mahasiswa (peserta didik) sebagai pembelajar harus mengimbangi dengan menjadi pelajar yang baik dan mampu memposisikan diri sesuai tugas dan fungsinya, untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Menurut UU no.20 tahun 2003 pasal 3 tujuan pendidikan nasional adalah "mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan, bertujuan untuk berkembangnya potensi agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat jasmani dan rohani, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab". Sebuah harapan yang sangat indah dan ideal sekaligus amanah yang amat sangat besar yang harus diemban oleh insan-insan pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan sebagaimana digariskan UU tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Optimalisasi usaha-usaha semua pihak sangat menentukan apakah tujuan pendidikan secara nasional dapat terwujud atau justru hanya mimpi.
Ungkapan yang mengatakan 'Nothing impossible in the world", "Where is will there is way" akan menjadi kenyataan jika semua komponen menyadari peran dan fungsinya. Dari kesadaran akan muncul positive behavior dan positive thought serta secara bersama-sama berusaha melakukan usaha optimal untuk mencapai target dan tujuan pendidikan yang diimpikan.
Pengembangan pendidikan khususnya metode belajar/ pembelajaran sangat diperlukan di era global ini selain untuk mengimbangi kemajuan teknologi dan pertumbuhan penduduk, pendidikan juga digunakan sebagai patokan untuk menilai apakah kesejahteraan rakyat sudah mencapai ketentuan atau tidak.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari tahu bagaimana sebetulnya seseorang itu belajar. David A. Kolb seorang profesor dalam bidang Perilaku Organisasi mengemukakan bahwa sesungguhnya berdasarkan gayanya dalam belajar, manusia dapat dikategorikan ke dalam 4 tipe. Ke-4 tipe yang dimaksud adalah activist, pragmatist, refectors, dan theorists. Kolb terinspirasi oleh seorang tokoh dalam bidang psikologi yang bernama Kurt Lewin yang mengajukan konsep mengenai 'adult learning' atau prinsip belajar orang dewasa yang dikenal juga dengan istilah experiential learning atau belajar berdasarkan pengalaman. Prinsip belajar berdasarkan pengalaman ini digunakan untuk menjelaskan proses belajar yang kita alami di dalam kehidupan sehari-hari(Rahmini Hadi,2007) .
Menurut John Dewey, pembelajaran sejati adalah lebih berdasar pada penjelajahan yang terbimbing dengan pendampingan daripada sekedar transmisi pengetahuan. Pembelajaran merupakan individual discovery. Pendidikan memberikan kesempatan dan pengalaman dalam proses pencarian informasi, menyelesaikan masalah dan membuat keputusan bagi kehidupannya sendiri. Melalui proses pembelajaran yang berpusat pada siswa maka fungsi guru berubah dari pengajar (teacher) menjadi mitra pembelajaran (fasilitator) (Tina Afiatin,2011).
2.2 Teacher Centered Learning (TCL)
Pelaksanaan pembelajaran pada hampir semua program studi perguruan tinggi di Indonesia masih bersifat satu arah, yaitu pemberian materi oleh dosen. Sistem pembelajaran tersebut dikenal dengan model Teacher Centereded Learning (TCL), yang ternyata membuat mahasiswa pasif karena hanya mendengarkan kuliah sehingga kreativitas mereka kurang terpupuk atau bahkan cenderung tidak kreatif. Pada sistem pembelajaran model TCL, dosen lebih banyak melakukan kegiatan belajar-mengajar dengan bentuk ceramah (lecturing) (Rahmini Hadi,2007). Pada saat mengikuti kuliah atau mendengarkan ceramah, mahasiswa sebatas memahami sambil membuat catatan, bagi yang merasa memerlukannya. Dosen menjadi pusat peran dalam pencapaian hasil pembelajaran dan seakan-akan menjadi satu-satunya sumber ilmu. Model ini berarti memberikan informasi satu arah karena yang ingin dicapai adalah bagaimana dosen bisa mengajar dengan baik sehingga yang ada hanyalah transfer pengetahuan (Rahmini Hadi,2007).
Perbaikan untuk model pembelajaran TCL telah banyak dilakukan, antara lain mengkombinasikan lecturing dengan tanya jawab dan pemberian tugas. Walaupun sudah ada perbaikan, tetapi hasil yang dihasilkan masih dianggap belum optimal. Pola pembel`jaran dosen aktif dengan mahasiswa pasif ini mempunyai efektivitas pembelajaran rendah. Hal tersebut setidaknya tampak pada 2 hal. Pertama, dosen sering hanya mengejar target waktu untuk menghabiskan materi pembelajaran. Kedua, pada saat-saat mendekati ujian, di mana aktivitas mahasiswa "berburu" catatan maupun literatur kuliah, serta aktivitas belajar mereka mengalami kenaikan yang sangat signifikan, namun turun kembali secara signifikan pula setelah ujian selesai.
Implikasi lain dari model pembelajaran TCL adalah dosen kurang mengembangkan bahan kuliah dan cenderung seadanya (monoton), terutama jika mahasiswanya cenderung pasif dan hanya sebagai penerima transfer ilmu. Dosen mulai tampak tergerak untuk mengembangkan bahan kuliah dengan banyak membaca jurnal atau download artikel hasil-hasil penelitian terbaru dari internet, jika mahasiswanya mempunyai kreativitas tinggi, banyak bertanya, atau sering mengajak diskusi. Namun, karena model pembelajaran TCL pada akhirnya "lebih mengkondisikan" mahasiswa pasif dan hanya sebagai penerima transfer saja, maka dosen pun menjadi kurang termotivasi untuk mengembangkan bahan kuliahnya.
2.3 Student Centered Learning (SCL)
Oleh karena model pembelajaran TCL ditemukan banyak kelemahan, maka sistem tersebut perlu diubah ke arah sistem pembelajaran dengan model Students Centered Learning (SCL). Pada model pembelajaran SCL mahasiswa dituntut aktif mengerjakan tugas dan mendiskusikannya dengan dosen sebagai fasilitator. Dengan aktifnya mahasiswa, maka kreativitas mahasiswa akan terpupuk. Kondisi tersebut akan mendorong dosen untuk selalu mengembangkan dan menyesuaikan materi kuliahnya dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang menyediakan banyak cara untuk mendapatkan informasi sumber belajar, memberikan peluang untuk mengembangkan metode-metode pembelajaran baru secara optimal sehingga mendukung upaya mewujudkan kompentensi yang diharapkan. Kemajuan ICT juga memungkinkan mahasiswa melakukan kegiatan belajar tidak hanya secara formal, tetapi belajar melalui berbagai media atau sumber. Dengan demikian dosen bukan lagi sebagai sumber belajar utama, melainkan sebagai "mitra pembelajaran".
SCL atau Student Centered Learning merupakan pendekatan dalam pembelajaran yang memfasilitasi pembelajar untuk terlibat dalam proses experiential learnig. Bila pembelajar itu dapat dikategorikan ke dalam tipe-tipe activist, reflector, theorist, dan pragmatist, berarti pendekatan SCL tersebut merupakan metode yang dapat memfasilitasi pembelajar, dalam hal ini mahasiswa sehingga secara langsung ataupun tidak dapat terlibat dalam proses pembelajaran (Rahmini Hadi, 2007).
Model pembelajaran SCL, pada saat ini diusulkan menjadi metode pembelajaran yang sebaiknya digunakan karena memiliki beberapa keunggulan yaitu: (1) mahasiswa atau peserta didik akan dapat merasakan bahwa pembelajaran menjadi miliknya sendiri karena mahasiswa diberi kesempatan yang luas untuk berpartisipasi; (2) mahasiswa memiliki motivasi yang kuat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran; (3) tumbuhnya suasana demokratis dalam pembelajara sehingga akan terjadi dialog dan diskusi untuk saling belajar-membelajarkan di antara mahasiswa; (4) dapat menambah wawasan pikiran dan pengetahuan bagi dosen atau pendidik karena sesuatu yang dialami dan disampaikan mahasiswa mungkin belum diketahui sebelumnya oleh dosen (Rahmini Hadi, 2007).
Keunggulan-keunggulan yang dimiliki model pembelajaran SCL tersebut akan mampu mendukung upaya ke arah pembelajaran yang efektif dan efisien yang dicirikan oleh (1) relevansi dan real world; (2) organisasi: sequencedan cumulative effects; (3) praktik; (4) transfer dan transformasi; (5) motivasi; (6) makna atau eksplorasi; (7) hasil dan umpan balik.
2.4 Prinsip Student Centered Learning
Bekal bagi para pendidik untuk dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator salah satunya adalah memahami prinsip pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Ada lima faktor yang penting diperhatikan dalam prinsip psikologis pembelajaran berpusat pada mahasiswa, yaitu: (a) Faktor Metakognitif dan kognitif yang menggambarkan bagaimana siswa berpikir dan mengingat, serta penggambaran faktor-faktor yang terlibat dalam proses pembentukan makna informasi dan pengalaman; (b) Faktor Afektif yang menggambarakan bagaimana keyakinan, emosi, dan motivasi mempengaruhi cara seseorang menerima situasi pembelajaran, seberapa banyak orang belajar, dan usaha yang mereka lakukan untuk mengikuti pembelajaran. Kondisi emosi seseorang, keyakinannya tentang kompetensi pribadinya, harapannya terhadap kesuksesan, minat pribadi, dan tujuan belajar, semua itu mempengaruhi bagaimana motivasi mahasiswa untuk belajar; (c) Faktor Perkembangan yang menggambarkan bahwa kondisi fisik, intelektual, emosional, dan sosial dipengaruhi oleh faktor genetik yang unik dan faktor lingkungan; (d) Faktor Pribadi dan sosial yang menggambarkan bagaimana orang lain berperan dalam proses pembelajaran dan cara-cara orang belajar dalam kelompok. Prinsip ini mencerminkan bahw a dalam interaksi sosial, orang akan saling belajar dan dapat saling menolong melalui saling berbagi perspektif individual; (e). Faktor Perbedaan Individual yang menggambarkan bagaimana latar belakang individu yang unik dan kapasitas masing -masing berpengaruh dalam pembelajaran. Pinsip ini membantu menjelaskan mengapa individu mempelajari sesuatu yang berbeda, waktu yang berbeda, dan dengan cara-cara yang berbeda pula.
BAB 3
METODE PENULISAN
3.1 Metode penulisan
Metode penulisan yang digunakan di dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah studi literatur di mana penulis mendeskripsikan atau mengkonstruksikan beberapa literature berupa pendapat-pendapat pakar dan hasil penelitian yang terpublikasi di jurnal-jurnal ilmiah.
BAB 4
ANALISIS DAN SINTESIS
4.1 Penerapan SCL yang dianjurkan di Perguruan Tinggi
Pembelajaran di perguruan tinggi dapat diartikan sebagai kegiatan yang terprogram dalam desain FEE (facilitating, empowering, enabling), untuk mahasiswa belajar secara aktif yang menekankan pada sumber belajar. Dengan demikian, pembelajaran merupakan proses pengembangkan kreativitas berpikiryang dapat meningkatkan kemampuan berpikir mahasiswa, serta dapat meningkatkan dan mengkontruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan dan pengembangan yang baik terhadap materi perkulihan.
SCL adalah pembelajaran yang berpusat pada aktivitas belajar mahasiswa, bukan hanya pada aktivitas dosen mengajar. Hal ini sesuai dengan model pembelajaran yang terprogram dalam desain FEE. Situasi pembelajaran dalam SCL di antaranya bercirikan:
1. Mahasiswa belajar baik secara individu maupun berkelompok untuk membangun pengetahuan, dengan cara mencari dan menggali sendiri informasi dan teknologi yang dibutuhkan secara aktif daripada sekadar menjadi penerima pengetahuan secara pasif;
2. Dosen lebih berperan sebagai FEE dan guides on the sides daripada sebagai mentor in the centered, yaitu membantu mahasiswa mengakses informasi, menata dan mentransfernya guna menemukan solusi terhadap permasalahan nyata sehari-hari, daripada sekadar sebagai gatekeeper of information;
3. Mahasiswa tidak sekadar kompeten dalam bidang ilmunya, tetapi juga kompeten dalam belajar. Artinya, mahasiswa tidak hanya menguasai isi matakuliahnya, tetapi mereka juga belajar tentang bagaimana belajar (learn how to learn), melalui discovery, inquiry, dan problem solving dan terjadi pengembangan;
4. Belajar menjadi kegiatan komunitas yang difasilitasi oleh dosen, yang mampu mengelola pembelajarannya menjadi berorientasi pada mahasiswa;
5. Belajar lebih dimaknai sebagai belajar sepanjang hayat (life long learning), suatu ketrampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja;
6. Belajar termasuk memanfaatkan teknologi yang tersedia, baik berfungsi sebagai sumber informasi pembelajaran maupun sebagai alat untuk pemberdayaan mahasiswa dalam mencapai ketrampilan utuh (intelektual, emosional, dan psikomotor) yang dibutuhkan.
Sebuah perguruan tinggi yang menerapkan metode pembelajaran dengan model SCL mempunyai beberapa karakteristik yang dapat kita temui antara lain:
a) Adanya berbagai aktivitas dan tempat belajar;
b) Display hasil karya mahasiswa;
c) Tersedia banyak materi belajar;
d) Tersedia banyak tempat yang nyaman untuk diskusi/bercengkerama;
e) Terjadi kelompok-kelompok dan interaksi multi-angkatan;
f) Ada keterlibatan dunia bisnis/industri dan masyarakat lainnya;
g) Jam buka perpustakaan fleksibel.
Peran dosen dalam proses pembelajaran model SCL memiliki peran yang penting dalampelaksanaan model SCL yaitu meliputi:
a) Bertindak sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran;
b) Mengkaji kompetensi matakuliah yang perlu dikuasai mahasiswa di akhir pembelajaran;
c) Merancang strategi dan lingkungan pembelajaran yang dapat menyediakan beragam pengalaman belajar yang diperlukan mahasiswa dalam rangka mencapai kompetensi yang dituntut matakuliah;
d) Membantu mahasiswa mengakses informasi, menata dan memprosesnya untuk dimanfaatkan dalam pemecahan permasalahan sehari hari;
e) Mengidentifikasi dan menentukan pola penilaian hasil belajar mahasiswa yang relevan dengan kompetensi yang akan diukur.
Dalam pelaksanaan model pembelajaran ini mahasiswa juga mempunyai peranan yang tidak kalah penting karena mahaiswa termasuk salah satu yang ikut menentukan proses pembelajaran model ini berhasil atau tidak. Peran mahasiswa meliputi:
a) Mengkaji kompetensi matakuliah yang dipaparkan dosen;
b) Mengkaji strategi pembelajaran yang ditawarkan dosen;
c) Membuat rencana pembejaran untuk matakuliah yang diikuti;
d) Belajar secara aktif (dengan cara mendengar, membaca, menulis, diskusi, dan terlibat dalam pemecahan masalah serta lebih penting lagi terlibat dalam kegiatan berpikir tingkat tinggi, seperti analisis, sintesis dan evaluasi), baik secara individu maupun kelompok.
Agar pembelajaran model SCL dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien, maka perguruan tinggi juga mempunyai peranan sebagai berikut:
a) Mengkaji kurikulum, program pembelajaran dan sistem penilaian hasil belajar yang mengacu pada SCL;
b) Membuat kebijakan tentang sosialisasi dan penerapan SCL di institusinya;
c) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif untuk terlaksananya SCL dengan menciptakan networking dengan dunia kerja, lembaga-lembaga masyarakat, atau instansi yang terkait;
d) Membenahi pola pikir (mindset) pada dosen dan pengelola program pendidikan pada umumnya tentang pentingnya mengubah paradigma mengajar berorientasi pada dosen semata pada pola pembelajaran yang berorientasi pada mahasiswa, yang dicirikan dengan adanya interaksi yang positif dan konstruktif antara dosen dan mahasiswa dalam membangun pengetahuan;
e) Melatih dan memberikan dukungan yang penuh kepada para dosen dalam menerapkan SCL dalam proses pembelajaran;
f) Memanfaatkan perencanaan pembelajaran yang berorientasi SCL, yang dikembangkan para dosen, dalam pengadaan sarana dan prasarana pendukung pembelajaran;
g) Menciptakan sistem yang memungkinkan dosen dan seluruh civitas akademika dapat berkomunikasi dan berkoordinasi serta akses terhadap IT (information technology).
Pemahaman peran dari ketiga elemen utama proses pembelajaran sebagaimana diuraikan di atas, akan mampu mendukung efektivitas metode-metode pembelajaran yang masuk dalam klasifikasi model pembelajaran SCL. Adapun metode-metode yang dimaksud adalah: (1) small group discussion; (2) role-play and simulation; (3) case study; (4) discovery learning; (5) self-directed learning; (6) cooperative learning; (7) collaborative learning; (8) contextual learning; (9) project based learning; dan (10) problem based learning and inquiry.
Peningkatan mutu proses pembelajaran berbasis SCL dan peningkatan suasana akademik yang sehat dan kondusif mempunyai tujuan antara lain: mempersingkat masa studi, meningkatkan IPK, meningkatkan kemampuan problem solving, dan mempersingkat lama waktu penyelesaian tugas akhir.
Program pengembangan peningkatan suasana akademik yang sehat dan kondusif bertujuan meningkatkan keterlibatan mahasiswa dalam penelitian, pertemuan ilmiah bersama dosen; pengembangan kapasitas dosen di bidang penulisan dan publikasi ilmiah; meningkatkan kuantitas dan kualitas pengabdian masyarakat dosen bersama mahasiswa; pengembangan study club dan media komunikasi.
4.2 Perubahan paradigma belajar dan pengaruhnya kepada prestasi akademik
Jika seorang berpikir bahwa ia sedang bersenang-senang ketika ia sedang belajar, maka ia akan lupa bahwa ia sedang belajar dan dengan sendirinya akan menikmati dan mendapatkan banyak manfaat. Ungkapan penulis ini merupakan ungkapan yang sering terlupakan oleh pendidik. Penerapan kedisiplinan dengan cara yang salah, kurikulum standar dan sebagainya yang membuat anak tidak memiliki pilihan sendiri tentunya tidak akan membuat peserta didik merasa sedang bersenang-senang, karena tidak sesuai dengan apa yang disukainya.
Beberapa metode belajar yang mengacu pada belajar secara alamiah dan mengacu pada keunikan individu yang perlu dikembangkan adalah collaborative learning, problembased learning, portfolio, team project, resource-based learning (Fairuz El Said, 2010). Metode-metode ini menekankan pada hal-hal seperti kerjasama tim, diskusi, jawaban-jawaban terbuka, interaktivitas, mengerjakan proyek nyata bukan hanya menghafal, serta belajar cara untuk belajar, bukan hanya memperoleh ilmu pengetahuan dan sebagainya.
Untuk menunjang metode belajar yang memberi kesempatan bagi peserta didik untuk mengenali permasalahan, serta menggali informasi sebanyak mungkin secara mandiri, akses informasi tidak boleh lagi dibatasi hanya pada dosen, buku wajib serta perpustakaan lokal saja. Peserta didik perlu ditunjang dengan akses tanpa batas ke pelbagai sumber informasi, antara lain industri, organisasi sosial maupun profesi, media massa, para ahli dalam bidang masing-masing, bahkan dari masyarakat, keluarga maupun sesama peserta didik. Perkembangan teknologi informasi bahkan memungkinkan tersedianya akses ke pelbagai informasi global ke seluruh dunia, melalui akses ke perpustakaan maya, museum maya, pangkalan-pangkalan data di web, atau bahkan kemungkinan untuk dapat berhubungan langsung dengan para ahli internasional.
Untuk mendukung perubahan serta kebutuhan yang diperlukan dalam menerapkan konsep SCL secara maksimal, perlu adanya infrastruktur yang menunjang. Jaringan kerjasama antar institusi baik pendidikan maupun non pendidikan secara nasional, regional maupun internasional akan sangat mendukung terbukanya kesempatan untuk belajar diluar batasan dinding sekolah atau budaya sehingga lebih memperkaya pengertian akan perbedaan sekaligus menambah wawasan ilmu pengetahuan menjadi lebih tak terbatas. Fasilitas pendamping pendidikan seperti perpustakaan, museum sekolah, laboratorium, pusat komputer maupun layanan administrasi yang memudahkan, responsif, simpatik, serta mengacu pada kepuasan dan kebutuhan peserta didik, akan sangat
mendukung terciptanya budaya SCL.
Berbagai riset tentang SCL menunjukkan hasil yang konsisten bahwa SCL akan meningkatkan prestasi, hubungan interpersonal yang lebih positif dan self-esteem yang lebih tinggi dibanding upaya kompetitif atau individualistis (Siti Mutmainah, 2011). Siti Mutmainah. (2011) mencatat keberhasilan metode ini 10 antara lain dari hasil riset Felder dan Brent (1996) yang menyatakan bahwa pendekatan ini meningkatkan motivasi untuk belajar, memori pengetahuan, kedalaman pemahaman dan apresiasi subyek yang diajar. Riset juga menunjukkan bahwa praktik SCL mengarahkan mahasiswa pada pencapaian prestasi yang lebih tinggi, lebih efisien dan efektifnya proses dan pertukaran informasi, meningkatkan produktivitas, hubungan yang positif di antara mahasiswa, dan membentuk saling percaya antar teman, dibandingkan dengan pengalaman pembelajaran kompetitif dan/atau individualistis.
Jika semua aspek yang mendukung lancarnya pelaksanaan SCL maka yang akan dihasilkan tidak hanya mahasiswa yang mampu memahami materi yang ia pelajari, namun juga mahasiswa yang dapat melaksanakan dan mengabdikan apa yang ia dapat di perkuliahan kepada masyarakat. Sehingga bukan hanya prestasi akademik yang meningkat seperti yang diharapkan namun juga manfaat akan ilmu bagi masyarakat sebagai nilai tambahnya. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa selain dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa yang dibuktikan dengan indeks prestasi kumulatif (IPK), SCL juga dapat meningkatkan kemampuan noncognitive, perilaku, toleransi dan dukungan bagi mahasiswa lain.
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil tinjauan pustaka dan pembahasan analisis dan sintesis dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Agar pembelajaran model SCL dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien, maka yang pertama harus diubah adalah cara pandang mengenai pembelajaran itu sendiri oleh insan-insan pendidikan, sehingga tidak lagi bergantung pada satu pihak saja yaitu pengajar (dosen). Setelah hal tersebut terjadi maka desain FEE kemudian diterapkan agar mahasiswa belajar secara aktif yang menekankan pada sumber belajar sehingga mahasiswa akan dituntut untuk proaktif dalam usahanya memahami apa yang dipelajarinya.
2. Dengan penerapan SCL maka secara langsung maupun tidak mahasiswa yang model belajarnya awalnya teachered center learning akan berubah. Mahasiswa dipaksa untuk melakukan observasi mandiri sehingga mahasiswa akan lebih aktif dan lebih memahami akan apa yang dipelajari, sementara dosen hanya sebagai pemandu (guide on the side).
3. Riset juga menunjukkan bahwa praktik SCL mengarahkan mahasiswa pada pencapaian prestasi yang lebih tinggi, lebih efisien dan efektifnya proses dan pertukaran informasi, meningkatkan produktivitas, hubungan yang positif di antara mahasiswa, dan membentuk saling percaya antar teman, dibandingkan dengan pengalaman pembelajaran kompetitif dan/atau individualistis.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan sehubungan dengan Karya Tulis Ilmiah ini adalah:
a) Agar prestasi akademik dan pemahaman mahasiswa meningkat, maka mahasiswa di awal kontak kuliah dibimbing untuk jangan hanya bergantung pada dosen dan harus bisa menciptakan cara belajar yang sesuai dengan SCL.
b) Student Centered Learning lebih bermakna daripada penjelasan detail dari dosen, perlu diadakan penugasan tentang materi ajar yang akhirnya memaksa mahasiswa untuk aktif..
DAFTAR PUSTAKA
CL sebagai Model Pembelajaran (online). http://tpcommunity05.blogspot.com. Diakses tanggal 17 April 2011.
Dewajani, Sylvi. 2006. "Student Centered Learning", Materi Lokakarya Peningkatan Kualitas Teknik Pembelajaran Student Center Learning. Yogyakarta: Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Gadjah Mada.
Ditjen Dikti Depdiknas. 2004. Tanya Jawab Seputar Unit dan Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional.
Fairuz El Said.2010. Pendidikan - Konsep SCL (Student-Centered Learning) (online). http://fairuzelsaid.wordpress.com. Diakses tanggal 19 April 2011.
Harsono. 2005. "Aplikasi SCL dalam Proses Pembelajaran" dalam www.belajar. usd.ac.id/. Diakses tanggal 17 April 2011.
Ibrahim, M. 2000 Pembelajaran koperatif. Surabaya Unesa Press.
Isjoni, 2007. Cooperative Learning: Efektifitas pembelajaran berkelompok. Bandung Alfabeta.
Rahmini Hadi. 2007. Dari Teacher-Centered Learning ke Student-Centereded Learning: Perubahan Metode Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Purwokerto: Insania.
Ramdhani Neila. 2006, "Ruh Experiential Learning dalam SCL". (online). http://neila.staff.ugm.ac.id/?pilih=lihat&id=10. Diakses tanggal 17 April 2011.
Siti Mutmainah. 2011. Pengaruh Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif Berbasis Kasus yang Berpusat pada Mahasiswa Terhadap Efektivitas Pembelajaran Akuntansi Keperilakuan (online). http://eprints.undip.ac.id/17165/1/SNA11Mutamimah.pdf. diakses pada 19 April 2011.
Sudjana S., D. 2005. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Falah Production.
Tina Afiatin . 2011. Pembelajaran berbasis student-centered learning . Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar