Bila Anda naik mobil dari Surabaya menuju Jember, Anda akan menelusuri Sungai Bondoyudo di daerah perkebunan tebu Jatiroto. Sepanjang jalan ada rel dan lori tebu. Ada sawah-sawah. Sungguh indah alam permai ciptaan Tuhan ini
Pusat kota Jember biasa disebut “Jalan Raya.” Disana ada macam-macam toko dengan sebuah alun-alun serta dua masjid besar (keduanya diurus oleh Yayasan Masjid Baitul Amin). Masjid yang lama digunakan menjadi lembaga pendidikan sekolah dasar SD Al- Baitul Amin.
Menurut sensus Badan Pusat Statistik tahun 2000, kabupaten Jember punya 2.2 juta penduduk di mana 98.6 persen Muslim. Orang Hoakiao (Tionghoa) Jember kebanyakan beragama Kristen atau Buddha. Ada sedikit yang beragama Islam. Mereka tinggal di daerah perdagangan, baik di Jember atau kota-kota kecil semacam Kalisat, Ambulu atau Balung. Mereka golongan minoritas. Jumlahnya, saya perkirakan kurang dari 10,000 orang atau kurang dari 0.5 persen.
Penduduk kota Jember kebanyakan bicara bahasa Jawa atau Madura. Bahasa Jawa dialek Jember agak beda dengan Jogjakarta atau Solo. Orang Jember memakai kata “koen” atau “kowe” untuk panggilan orang kedua. Oleh-oleh khas Jember adalah tape (singkong yang diragikan) atau suwar-suwir (manisan dari tape, rasanya empuk-empuk manis).
Jember mulai tumbuh sebagai daerah urban pada 1850an ketika George Birnie, seorang warga Belanda keturunan Skotlandia, membuka perkebunan dan memasarkan tembakau dari Jember ke Eropa. Birnie mendatangkan pekerja dari daerah sekitar Blitar dan Pulau Madura. Menurut seorang buyutnya, novelis Alfred Birney, George Birnie menikah dengan Rabina, perempuan Jawa, dan mengirim anak-anaknya ke negeri Belanda untuk studi. Salah satu di antaranya adalah Willem Birnie, kakek Alfred Birney.
“Keluarga Birnie dulu keluarga kaya di Jember,” kata Jacoba Jasina Maria Vink, seorang pensiunan guru Jember. Bapaknya, Gerardus Hermanus Vink, tiba di Jember dari Belanda pada 1910 untuk bekerja di Landbouw Maatschapij Oud Djember milik keluarga Birnie. Vink senior menikah dengan perempuan Jawa. Jacoba kelahiran 1918. Dia kenal betul perubahan Jember dari zaman Belanda, Jepang dan Indonesia.
George Birnie juga menanam kopi, coklat, kelapa dan sebagainya. Kehadiran Birnie memancing pengusaha lain ikut membuka perkebunan. Pada 1950an, perkebunan-perkebunan ini disita pemerintah Indonesia dan dijadikan perkebunan negara.
Salah satu toko di Jalan Raya bernama Toko Sinar, milik keluarga besar Ong Tjie Liang. Di sampingnya, ada Toko Juli, milik Ong Seng Hwie, empeknya Tjie Liang (empek dalam bahasa Hokkian artinya “paman tua”). Di kedua toko inilah saya mendapat cerita tentang asal-usul keluarga Liang. Toko-tokonya sangat sederhana. Meja dan almari dari kayu tua. Penerangan redup. Toko Sinar menjual alat listrik. Toko Juli menjual radio dan tape recorder.
Hwie mengatakan orang tuanya bernama Ong Kong Swie dan Yauw Siauw Tja. Swie berasal dari desa bernama Kang Tauw, distrik Bo Chan, daerah Hen Hwa di Hokkian, selatan Tiongkok. “Itu daerah miskin, nggak ada industri,” katanya. Kebanyakan orang Hokkian jadi petani atau nelayan. Kakeknya Hwie bernama Ong Kie Soen. Kuburannya ada di Kang Tauw. Siauw Tja sendiri berasal dari desa Hwi Aua, distrik Bo Chan.
Pada 1925, pasangan ini naik kapal via Xiamen menuju Surabaya. Tujuannya, rumah kakak Swie, bernama Ong Kong Siang, yang membuka bengkel sepeda di Mojokerto, selatan Surabaya.
Swie pun ikut mengelola bengkel. Dia sempat pindah ke Banyuwangi, di mana Hwie lahir pada 1928. Namun pada 1930 mereka kembali ke Mojokerto ketika Siang memutuskan kembali ke Tiongkok. Swie mengambil alih bengkel kakaknya di Mojokerto. Pada 1930, Siauw Tja melahirkan anak laki-laki lagi, diberi nama Ong Seng Hwa.
Pada 1932, Swie memutuskan pindah ke Jember dari Mojokerto. Hwa mengatakan pada saya bahwa empek dan papanya mulanya punya kongsi di Jember. Namun kongsi ini pecah dengan rekan dagang mereka. Swie pun pergi ke Jember guna mengurus bengkel dan toko sepeda bernama “Han Gwan Hin.”
Waktu itu, Jember berkembang pesat berkat perkebunan dan pertanian tembakau. Keluarga Birnie membuka jalur lelang tembakau langsung di Amsterdam. Toko “Han Gwan Hin” ikut berkembang dalam pertumbuhan ekonomi ini. Belakangan saudara misan Swie, bernama Ong Kong Ling, ikut menyusul ke Jember dan membuka home industry kembang tahu. Kelak kedua keluarga Ong ini memiliki ratusan keturunan di Jember. Namanya manusia, mereka kawin campur, dengan orang Hakka, Jawa, Madura dan sebagainya. Agamanya juga macam-macam, dari Khong Hu Chu sampai Islam.
Pada 1930an, ada dua suratkabar menarik di Jember. Mingguan Pembrita pimpinan Kwee Thiam Tjing dalam bahasa Tionghoa-Jawa serta De Oosthoek Bode pimpinan Brunswijk van Hulten dalam bahasa Belanda. Di tanah Birnie, kedudukan orang Belanda lebih menonjol dibanding kota-kota lain di Jawa. Suatu saat Pembrita kasih turun informasi bahwa van Hulten memaki dan menempeleng satu Tionghoa yang mengetok rumah van Hulten untuk kembalikan uang kelebihan ongkos pengangkutan. Van Hulten marah karena dia diganggu saat istirahat pukul 2 siang. Si Tionghoa mengadu ke rumah Kwee di Gang Tengah, dekat Hotel Mars.
Pemberitaan Pembrita bikin Van Hulten marah, "In hem berkennen wij de communist van Soerabaja, de oproerkraaier en onruststoker." Artinya, Van Hulten menuduh Kwee orang komunis dari Surabaya, hendak bikin kacau Jember. Caci maki saling bergulir di mingguan mereka. Van Hulten belakangan menggugat Kwee ke pengadilan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Dia juga mengeluh Kwee tak mau menyapanya dengan Meneer atau Heer. Hanya sebut nama: Van Hulten. Dalam sidang, Kwee tak mau buka nama orang Tionghoa tersebut. Dia dihukum denda 25 gulden. Kwee sendiri pernah dipenjara dua kali karena pers-delict. Dia dianggap sebagai wartawan yang berani, termasuk membela bangsa Aceh dalam pertempuran 1925, melawan kolonialisme Belanda. Kwee hantam opini dari Soerabajasch Handelsblad dan Indische Courant, yang sering minta agar orang-orang Aceh ditembak mati. Pada 1947, Kwee menerbitkan buku Indonesia Dalem Api dan Bara, salah satu narasi terbaik, yang pernah terbit dari Pulau Jawa.
Bagaimana menerangkan keluarga pendatang ini di Pulau Jawa? Leo Suryadinata dalam buku The Culture of the Chinese Minority in Indonesia membuat dua kategori orang Hoakiao: peranakan dan totok. Dua kategori ini mulai muncul pada awal abad XX ketika migrasi orang Cina ke Jawa meningkat.
disadur dari hoakiao dari jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar