Total Halaman yg ditampilkan

29 Desember 2011

Sistem Terdistribusi : Name Service










Upaya Pengurangan Resiko dan Dampak Bencana


UPAYA PENGURANGAN RESIKO DAN DAMPAK BENCANA
Muhammad Fajrul Falah (092410101018)
Program Studi Sistem Informasi - Universitas Jember

Bencana merupakan anugerah Tuhan yang harusnya kita renungi. Rasa syukur kepada-Nya ketika dalam kondisi sehat yang sering terlupa, akan teringat ketika bencana melanda. Bencana harusnya disikapi dari sebelum bencana itu terjadi bukan hanya saat terjadi ataupun setelah terjadi.
Suatu bahaya adalah ancaman atau risiko yang disebabkan oleh manusia maupun alam sehingga mengakibatkan kerusakan. Contoh bahaya yang disebabkan oleh alam adalah banjir, dan gempa bumi. Contoh bahaya yang disebabkan oleh manusia adalah tumpahan zat kimia, ranjau darat dan polusi beracun dari industri.
Suatu bencana adalah bahaya yang menyebabkan kerugian dan kehancuran besar yang berimbas pada masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk menghadapinya. Suatu risiko merupakan potensi di mana sesuatu yang buruk bisa terjadi. Kerentanan adalah potensi untuk lebih mudah terluka, tersakiti atau terkena dampak bencana.
Konsep-konsep tentang kerentanan, bahaya, dan resiko memiliki relasi yang dinamis. Relasi elemen-elemen ini juga dapat diungkapkan sebagai suatu rumus sederhana yang menggambarkan konsep tersebut dimana lebih besar peristiwa potensial dari suatu bahaya dan lebih mudah rentan suatu populasi, maka lebih besar resikonya.

Pemicu tingginya dampak bencana
Kemiskinan pada umumnya menjadikan orang/ kelompok rentan terhadap dampak bencana. Kemiskinan menyebabkan seseorang mencari tempat - tempat yang rawan bencana untuk ditinggali seperti tanah longsor atau di dekat gunung berapi atau sungai-sungai dimana tepi-tepinya selalu banjir. Kurangnya kesadaran dan informasi akibat kemiskinan. Orang-orang yang rentan, sama sekali tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari hal yang membahayakan, atau tindakan-tindakan perlindungan apa yang diambil ketika menghadapi bencana.
Selain kemiskinan kepadatan populasi yang meningkat juga memiliki andil. Pertumbuhan populasi memicu lebih banyak orang yang akan terpaksa hidup dan bekerja di daerah-daerah yang tidak aman dan lebih banyak orang yang bersaing untuk suatu jumlah sumber yang terbatas yang mungkin menuju pada konflik. Kemudian urbanisasi yang cepat. Pertumbuhan populasi yang cepat dan migrasi umumnya disebabkan kurangnya lapangan pekerjaan. Persaingan untuk sumber-sumber yang langka, merupakan suatu kosekuensi urbanisasi yang cepat yang tidak dapat dihindarkan, hal tersebut dapat mengakibatkan bencana-bencana yang disebabkan oleh manusia.
Hal lain yang mempengaruhi tingginya dampak bencana adalah perubahan-perubahan cara hidup. Ketika orang-orang berpindah dari pedesaan ke perkotaan, mereka mungkin akan kehilangan sistem atau jaringan dukungan sosial yang secara tradisional akan membantu mereka dalam pemulihan trauma dari suatu bencana.

Bencana di negeri ini
Kita ketahui bencana alam di wilayah tanah air, begitu sering terjadi. Walau begitu, tetap saja penanganan bencana terutama pada saat tanggap darurat pertolongan sering terlambat. Pada saat dan sesudah bencana selalu saja meninggalkan beban penderitaan yang mendalam bagi masyarakat yang terkena bencana. Terlebih lagi, hampir seluruh wilayah tanah air kita masuk dalam daerah yang rawan bencana. Data menunjukan bahwa intensitas kejadian yang paling sering terjadi adalah bencana banjir. Sementara dari segi jumlah korban meninggal maka yang tertinggi adalah bencana tanah longsor baru kemudian bencana banjir. Kedua jenis penyebab bencana tersebut nampaknya berkaitan dengan lingkungan hidup yang rusak. Sebelum bencana gempa di Sumatera barat maka bencana gempa masih menempati urutan kelima, setelah bencana gabungan bencana banjir dan tanah longsor.
Dari sifat bencana yang selalu terjadi begitu tiba-tiba dan jumlah korban yang cukup banyak, maka disimpulkan secara umum kesiaap-siagaan masyarakat di daerah rawan bencana atas penanggulangan bencana umumnya rendah. Segala bentuk kearifan lokal dalam mencermati gejala alam sebagai peringatan dini umumnya sudah hilang karena tidak dilestarikan dalam perubahan masyarakat.
Pelestarian kearifan local memiliki peran penting dan berakibat signifikan dalam meminimalisir dampak bencana, khususnya jumlah korban. Mungkin masih terniang dipikiran kita mengenai bencana tsunami yang terjadi tujuh tahun yang lalu, jumlah korban di Aceh sangatlah tinggi, namun di Nias yang letaknya lebih dekat dengan pusat gempa penyebab tsunami dengan kearifan lokal yang telah diajarkan turun temurun dianggap bias meminimalisir jumlah korban yaitu, dengan cara mengungsi ke tempat yang lebih tinggi seperti perbukitan setelah gempa tektonik terjadi. Kearifan local berupa pengetahuan seperti ini yang mungkin tidak dimiliki, diketahui atau dilestarikan di daerah lain sehingga jumlah korban sangat tinggi.
Korban bencana adalah masalah kemanusian yang tidak bersifat diskriminatif. Melintas batas primordial. Bencana tidak membedakan wilayah elite dan wilayah kumuh. Namun daya tahan atau resistensi kedua wilayah tersebut tentu berbeda. Pemukiman masyarakat dari kalangan masyarakat menengah-bawah, umumnya lebih rentan dengan dampak bencana. Pemukiman yang dibangun dengan bahan sederhana dan umumnya tidak dirancang dengan tahan bencana. Karena itu korban, kerusakan yang terjadi di wilayah pemukiman yang sederhana dan kumuh umumnya juga lebih besar. Pada masa tanggap darurat, bantuan makanan dan obat-obatan juga dibutuhkan lebih besar untuk kalangan masyarakat kecil karena persedian umumnya tidak tersedia.
Secara umum penanggulangan bencana ada pada tiga tahapan utama: tanggap darurat; pemulihan yang mencakup rehabilitasi sosial dan restorasi fisik; dan rekonstruksi. Pada tahap tanggap darurat targetnya adalah penyelamatan korban; sasaran dalam tahap pemulihan adalah pulihnya standar pelayanan minimum, dan sasaran dalam tahap rekonstruksi adalah terbangunnya kembali seluruh sistem sosial dan ekonomi. Sekali lagi dampaknya dirasakan berbeda, kalangan masyarakat kecil tidak hanya berhenti berkegiatan karena bencana, tetapi lebih dari itu kehilangan faktor produksi untuk melangsungkan kegiatan ekonomi paska bencana.
Bantuan pada hakekatnya adalah hak korban. Dengan prinsip perlindungan terhadap setiap warga negara, termasuk ancaman atas bencana. Sebagaimana diatur melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang masih kurang disosialisasikan. Perlunya sikap sadar bencana bagi anggota masyarakat khususnya yang tinggal di daerah rawan bencana. Perlu dilakukan antisipasi untuk mengurangi dampak bencana, khususnya menyangkut sistem peringatan dini. Meningkatkan kualitas pelatihan bagi Taruna Siaga Bencana (TAGANA) dibawah naungan Dinas Sosial di tiap-tiap daerah, yang siap siaga diturunkan bilamana terjadi bencana. Sarana dan prasarana evakuasi dalam program tanggap darurat, sehingga dapat melakukan tindakan cepat dan tepat sehingga dapat menekan jumlah korban dan mengurangi dampak yang merugikan akibat bencana.
‘Tekanan’ sering terjadi pada masyarakat yang muncul dalam bencana, sehingga dapat meningkatkan kerentanan. Tekanan dibagi menjadi tiga yaitu: bahaya, kondisi tidak aman, dan tekanan dinamis.
Bahaya merupakan bencana itu sendiri seperti gempa, banjir, kekeringan, letusan gunung api, perang saudara, pencemaran, wabah, tanah longsor, dan lain-lain. Sedangkan kondisi tidak aman adalah bahaya yang tidak disadari, lokasi berbahaya, tidak punya tabungan, tidak ada keahlian, tidak ada JPS (jaring pengaman sosial), dan tidak bersatunya warga dalam suatu lingkungan. Tekanan dinamis antara lain akses terbatas atas sumber daya, layanan dasar, pasar dan keputusan politik, pertumbuhan penduduk, perubahan lahan, pembabatan hutan migrasi, dan peraturan-peraturan yang tidak memihak pada masyarakat. Akar masalahnya adalah kebijakan yang menghasilkan distribusi tidak meratanya sumber daya, layanan dan kekuasaan, kebijakan/ struktur yang menghasilkan akses yang tidak merata pada kekuasan, fungsi bias negara dan militer, aturan gender, defenisi hak, dan ideologi.
Untuk menghadapi hal-hal di atas maka digunakanlah Disaster Crunch Model yang membantu kita mengetahui bagaimana kerentanan bisa terjadi. Dan Disaster Release Model untuk mengetahui bagaimana risiko bencana bisa dikurangi. Dua model itu merupakan media untuk mentransfomasi dari yang tidak aman menjadi aman, dari yang negatif menjadi positif
Contoh: Untuk mengurangi resiko banjir akibat luapan air sungai, dapat dilakukan dengan membuat tanggul, dan sistem pengendalian sungai yang dihubungkan dengan sistem peringatan banjir. Dan para keluarga dianjurkan untuk memperkuat struktur rumah, dan/atau membangun rumah yang lokasinya aman dari banjir
 Selain menggunakan model-model di atas kita juga harus melakukan intervensi pengurangan risiko bencana untuk menuju kondisi yang aman dengan melakukan beberapa hal, antara lain:
a.          Risk Assesment di masyarakat,
b.         Pelatihan penyadaran masyarakat,
c.          Perencanaan pengurangan risiko,
d.         Pelatihan kesiapsiagaan bencana,
e.          Menyusun dan memperkuat organisasi penanggulangan bencana,
f.           Pelatihan, simulasi, dan kemampuan evakuasi,
g.          Pengorganisasian masyarakat,
h.          Perawatan rumah dan fasilitas umum,
i.            Disetifikasi sumber mata pencaharian,
j.           Pelatihan kader kesehatan, dan lain-lain.

Kehidupan ini berawal dari kehidupan di bumi jauh sebelum makhluk hidup ada. Maka dari itu untuk menjaga dan melestarikan bumi ini harus beberapa dekade kah kita memikirkannya. Sampai pada satu sisi dimana bumi ini telah tua dan memohon agar kita sebagai makhluk yang tinggal dan memanfaatkan segala sesuatunya di atas bumi ini untuk menjaga keberlangsungannya serta melestarikannya. Marilah kita bergotong royang untuk menyelematkan bumi yang telah memberikan kita kehidupan yang sempurna ini. Bencana sebagai Kuasa-Nya memang tidak bisa ditolak, namun sebagai manusia yang dikaruniai akal dan pikiran, seyogyanya kita dapat mengurangi terjadinya bencana yang disebabkan oleh manusia. Dengan akal kita harusnya dapat melakukan hal-hal yang tujuannya bisa mengurangi dampak dari bencana, entah dari sisi jumlah korban, trauma, dan kerusakan-kerusakan lainnya.


Referensi:
Vanaspongse, C., dkk. 2007. Pedoman Pelatihan: Pengurangan Risiko Bencana yang Dimotori oleh Anak-anak di Sekolah dan Komunitas. Bangkok: Save the Children.
Palang Merah Indonesia. 2011. Presentasi DIKLATSAR PMI. Jakarta: PMI.
Mawardi, Ikhwanuddin. 2006. Rencana Aksi Nasional - Risiko Bencana 2006-2009. Jakarta: Perum Percetakan Negara RI.  


kisi-kisi UAS bro n sist

 (maaf sebelumnya klo salah tulis krn jujur saya g paham..... cak Moy ma mas Tio tolong dikoreksi y!!) langsung aja cekidot...

Man Pro TI:
1. cocomo (basic, intermediat, advance) pelajari!
2. cocomo (mode organic, semi dethcaed, mpd (whatever))
3. menghitung MPV & Value, suku bunga dll iku lo...
4. menghitung return on investment (manfaat, investasi iku lo sg tahunan dll)

Pengukuran & Implementasi:
1. Source Code > menghitung total comment, LOC, blank line, comment precentage/ prosentase.
2. Jelaskan fungsi Respon for Class
3. Bagaimana cara mengukur tingkat kepuasan pelanggan ( mami Lightning ^^V beud)
4. Fungsi metrik Software Nmber of Children
5. Fungsi metrik Software depth of inheritance tree
6. Fungsi metrik Software lake of cohesion

T.RPL: jawaban ujian ini mengacu pada pengerjaan tgs klompok yang lalu jd kaya curhat gt... (intine mengarang indah)
anlisis, desain, kode, test, install dll dsb......
1. Jelaskan tahap2 ketika melakukan proyek (kelompokmu dewe2 yo rek)
2. Bagaimana pembagian kerja dalam proyek
3. Requirement apa yang tdk dpt dipenuhi ??
4. Berapa macam actor/ entity/ terminator dlam proyekmu?? mengapa dia dia dan dia ditetapkan sebagai actor/ entity/ terminator>?

terakhir...
S. T (g manis)
1. Sharing Resource, waktu komputasi dan komunikasi... Jelaskan!!
2. dalam file system, operasi apa j yg dpt dilakukan pada file??
3. Distributed garbage collect, distributed xxxxx*** g jelas detect, gambarkan state diagram.
4. fungsi dari name service apaan hayo???


sekian yng mampu saya catat...maaf klo g jelas .....wassalam....

27 Desember 2011

Ringkasan: Penerapan konsep-konsep Nonblocking I/O, threading, asynchronous I/O, dan multiplexing.



1. Nonblocking I / O
Bagaimana sebuah program yang mempunyai tugas lain untuk melakukan tugasnya sambil menunggu panggilan selesai (Misalnya, memperbarui  kursor "sibuk"atau menanggapi permintaan pengguna)? Program-program ini mungkin tidak memiliki waktu untuk menunggu pada pemanggilan metode yang diblokir. Untungnya, beberapa mekanisme yang tersedia untuk menghindari perilaku yang tidak diinginkan memblokir. Kita punya tiga masalah di sini: (1) I / O prechecking status, (2) memblokir panggilan timeout, dan (3) Nonblocking soket.

2. Multiplexing
Setiap versi echo server berurusan dengan hanya satu koneksi klien pada suatu waktu. Namun, sering terjadi aplikasi membutuhkan kemampuan untuk melakukan I/O pada saluran secara bersamaan. Misalnya,kita ingin menyediakan layanan pada beberapa port echo  sekaligus. Masalah ini menjadi jelas segera setelah Anda mempertimbangkan apa yang terjadi setelah server menciptakan dan mengikat soket ke port masing-masing.

3. Threads
Pada bagian sebelumnya kita menunjukkan bagaimana menggunakan Nonblocking I/O fitur .NET untuk menjalankan kode lain sambil menunggu operasi socket. Ada dua kelemahan  utama pendekatan ini Nonblocking. Pertama, pemungutan suara untuk menyelesaikan metode socket cukup tidak efisien. Jika Anda tidak cukup segera jajak pendapat, waktu yang hilang setelah operasi soket selesai. Jika Anda terlalu cepat jajak pendapat, operasi tidak akan siap dan Anda juga harus memeriksa blok atau kembali lagi nanti. Kedua, jumlah koneksi yang dapat ditangani secara bersamaan terbatas. Jika menghubungkan klien sementara yang lain sudah sedang dilayani, server tidak akan echo baru data client sampai selesai dengan klien saat ini, meskipun klien baru akan mampu mengirim data secepat ini menghubungkan. Jenis server dikenal sebagai server iteratif. Iterative server menangani klien secara berurutan, finishing dengan satu klien sebelum melayani berikutnya. Mereka bekerja terbaik untuk aplikasi dimana setiap klien membutuhkan sedikit jumlah terbatas waktu koneksi server, namun jika waktu untuk menangani klien bisa panjang, tunggu dialami oleh klien berikutnya mungkin tidak bisa diterima.

4.  Asynchronous I/O
Setelah Anda memahami perbedaan antara sinkron dan asinkron asynchronous API. Secara ringkas, meliputi:
1.      Mulai Metode: panggilan mulai mengambil (di samping argumen di sinkron versi metode) turunan AsyncCallback menentukan callback yang metode dan sebuah objek yang mengandung semua negara yang ditetapkan pengguna. Mulai kembali memanggil IAsyncResult yang dapat digunakan untuk jajak pendapat atau memblokir di mengembalikan call.
2.      Negara callback: callback Metode dilewatkan negara (mulai objek call argumen) yang tersimpan dalam properti AsyncState dari contoh IAsyncResult.
3.      Akhir Metode: memanggil metode akhir sebagai sebuah argumen mengambil contoh IAsyncResult dikembalikan oleh permintaan panggilan balik, dan mengembalikan nilai yang sinkron versi panggilan akan kembali.

WANITA INDONESIA DAN FEMINISME


PEREMPUAN DAN FEMINISME DI INDONESIA
Oleh: Bambang Aris Kartika

            Wacana mengenai pemberdayaan perempuan menjadi salah satu isu penting di tengah euforia demokratisasi. Selama ini ada anggapan bahwa pola interaksi dan hubungn antara perempuan dan laki-laki sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang cenderung melihat dari segi kekuatan dan kekuasaan, baik secara kultural, struktural, dan agama terpusat pada laki-laki. Struktur yang seperti itu cenderung menjadikan perempuan berada di posisi terpinggirkan dan senantiasa menjadi subordinat bagi peran laki-laki. Kondisi inilah yang menjadi penyebab utama semakin seringnya praktik-praktik penindasan serta diskriminasi terhadap perempuan di seluruh aspek kehidupan, baik di dalam rumah tangga, masyarakat, maupun negara. Berdasarkan pandangan terhadap fakta tersebut , ada keinginan perempuan (disebut kaum feminis) untuk mendobrak peran lelaki dengan mengangkat isu kehidupan yang ada berdasarkan sisi kesamaan dan keterbukaan, dimana akses pengetahuan menjadi wilayah terbuka yang selama ini dimonopoli oleh lelaki.
Selalu ada perbedaan identitas primordial ketika membaca suatu fenomena sosial. Norma yang berlaku dan berkembang di dalam suatu kelompok atau komunitas tersebut menjadi acuan yang sangat penting bahkan sakral karena tidak dapat diganggu gugat. Bahasan mengenai gender merupakan salah satu fenomena sosial yang menarik. Feminisme merupakan suatu doktrin yang menjadi dasar gerakan persamaan peluang atau hak bagi kaum lelaki dan perempuan. Jika kita mengkaitkan doktrin ini di Indonesia dengan budaya Indonesia, bangsa ini mungkin lebih maju karena walaupun pergerakan feminisme di Indonesia baru mulai bergairah pada akhir abad ke-20.
Feminisme lebih dikenal sebagai gerakan untuk memperjuangkan kesetaraan atau keadilan gender di tengah-tengah masyarakat. Menurut analisis feminisme, ketidakadilan gender muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep seks. Konsep seks merupakan suatu sifat yang kodrati, alami, dan dibawa sejak lahir. Sedangkan konsep gender adalah suatu sifat alamiah atau kodrati tetapi melekatnya sifat-sifat tertentu kepada laki-laki dan perempuan (misalnya sifat lembut perempuan lebih cocok berperan di dalam rumah tangga dan sifat kuat laki-laki membuat mereka cocok berperan di ranah publik) sebagai hasil bentukan sosial dan kultural yang telah melalui proses panjang. Karena memiliki proses yang panjang, sifat-sifat tersebut akhirnya dianggap harus diterima begitu saja. Menurut feminisme, saat konstruksi sosial dan kultural yang ada dianggap merugikan perempuan, perempuan harus disadarkan bahwa konstruksi sosial terebut harus diubah karena tidak bersifat kodrati. Ketika konstruksi sosial itu terbangun dari ajaran-ajaran agama, maka ajaran-ajaran agama itu yang harus ditinggalkan atau diubah agar menghasilkan konstruksi sosial yang diharapkan.
            Dewasa ini di Indonesia, imej perempuan bagi kelas menengah tidak lagi dilihat lebih rendah dari kaum lelaki. Bahkan dalam situasi tertentu kaum perempuan di kelas menengah dipandang lebih hormat dan disegani oleh kaum lelaki. Hal tersebut tidak saja dipandang dari sudut kekuasaan, baik ekonomi maupun politik, tetapi juga di dalam rumah tangga mereka. Banyaknya perempuan sekarang yang memiliki peluang untuk melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya telah mengangkat imej mereka dalam suatu prestise atau dapat dikatakan mereka memiliki martabat yang lebih tinggi. Imej ini sendiri terbagi ke dalam dua bagian, yaitu imej prestise dan imej kekuasaan. Bagi perempuan Indonesia saat ini, imej prestise telah terangkat ke permukaan, tetapi imej kekuasaan sedang diperjuangkan. Tentu saja imej kekuasaan dapat tercapai bila imej prestise telah terbentuk. Artinya imej kekuasaan yang akan terbentuk dipengaruhi oleh imej prestise yang sudah terbentuk sebelumnya. Untuk saat ini perempuan Indonesia telah memulainya dengan benar, paling tidak secara teoritis mendapat dukungan.
            Secara sosiologis, feminisme sering melihat perempuan itu dalam dua sisi. Pertama adalah ruang publik dan kedua adalah sektor rumah tangga. Di dalam ruang publik atau ranah umum, imej prestise secara perlahan dan pasti telah terbentuk. Seperti yang telah dijelaskan tadi bahwa pendidikanlah yang membawa perempuan ke taraf pembentukan imej prestise yang kuat. Dalam ruang publik kekuatan perempuan dalam imej prestisenya ditunjukkan oleh kekuatan intelektual. Secara alamiah intelektualitas, dalam hal ini adalah kapasitas otak, antara lelaki dengan perempuan tidak berbeda sama sekali. Sistem pendidikan yang tidak membatasi peluang perempuan telah membawa mereka ke imej prestise yang sejajar dengan kaum lelaki.  
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa ada beberapa hal yang dapat digali untuk mendalami persoalan feminisme di Indonesia. Di kelas menengah akan kita lihat peranan perempuan di bagian imej kekuasaan yang mungkin belum beranjak maju, kecuali karena adanya situasi politik yang kental, yakni saat Megawati, seorang perempuan dan ibu rumah tangga memegang kekuasaan puncak di Indonesia kurang lebih selama tiga tahun. Di posisi kekuasaan lain, dalam jajaran menteri, gubernur, bupati, walikota, pejabat eselon, anggota DPR (pusat, propinsi, dan tingkat II), DPD, lembaga pendidikan, anggota pengurus partai politik dan organisasi sosial, imej kekuasaan jarang ditemukan sosoknya. Hal lain lagi adalah imej prestise dan imej kekuasaan di kelas yang lebih bawah. Di kalangan perempuan yang belum berpendidikan cukup tinggi dan dengan demikian memiliki kemampuan intelektualitas yang terbatas, akan ditemui imej prestise dan imej kekuasaan yang lemah baik di ruang rumah tangga maupun ruang publik.
            Berbicara mengenai pendidikan, di Indonesia, sektor pendidikan memberi peluang yang sama kepada kaum lelaki dan perempuan. Di samping itu, para orang tua, khususnya kelas menengah ke atas tidak akan mungkin memiliki keinginan untuk membatasi pendidikan bagi anak-anak mereka, baik lelaki maupun perempuan. Oleh karena itu kita dapat melihat di ruang-ruang kelas di sekolah maupun perguruan tinggi dipenuhi oleh kaum perempuan yang menuntut ilmu. Dalam banyak kesempatan, misal dalam wisuda, kaum perempuan sering dinyatakan sebagai yang terbaik di kalangan lelaki dan perempuan itu sendiri. Namun demikian, di beberapa wilayah Indonesia, terutama pada keluarga-keluarga yang berpendidikan kurang, resiko terjadi pada kaum perempuan ini. Masih banyak ditemui kaum perempuan muda yang dikawinkan dalam usia muda, yakni usia sekolah menengah bahkan usia sekolah dasar. Kasus seperti ini tentu sangat menyedihkan, terlebih ketika diketahui penyebabnya bukan hanya karena rendahnya pendidikan orang tua, tetapi lebih karena kemiskinan. Fakta berbicara bahwasanya besarnya keinginan orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi tetapi seringkali terkendala oleh kemiskinan keluarga. Bukan hanya karena tidak tersedia dana untuk masuk atau biaya bulanan sekolah, tetapi yang lebih parah adalah adanya pemikiran bahwa sekolah akan membuat keluarga melarat. Sebaliknya, jika segera dikawinkan paling tidak keluarga itu terbebaskan dari beban pengeluaran karena anggota keluarga mereka berkurang. Harapan lebih adalah jika sang anak dikawini oleh seseorang yang lebih berada maka akan meningkatkan prestise dan kesejahteraan mereka. Dari hal tersebut, dilihat bahwa analisis feminisme bertumpu pada pandangan struktural daripada kultural.
            Lelaki dan perempuan adalah sosok biologi dan sosial yang saling membutuhkan satu sama lain yang kemudian  terjadi suatu mekanisme hingga muncul adanya kontrak perkawinan. Memang ada gejala yang menunjukkan perempuan ‘menolak’ disposisi kebutuhan tersebut dan mengambil keputusan untuk hidup tanpa lelaki. Hal ini dapat terjadi karena adanya sebab-sebab psikologis dari perempuan tersebut. Demikian juga dalam kasus penyimpangan biologis dan psikologis yang dialami kaum perempuan menjadi kendala bagi mereka untuk memenuhi disposisi demikian itu. Jumlah mayoritas yang ‘normal’ diperkirakan masih stabil, bahkan di negara-negara maju sekalipun dimana diperkirakan karena faktor sosial ekonomi, kaum perempuan menjadi semakin mandiri dan kurang membutuhkan ikatan perkawinan (meskipun secara diam-diam tetap mebutuhkan hubungan seksual dan sosial dengan kaum lelaki). Kalau pun mereka kawin, tidak lebih sekedar “kawin kontrak” untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Tidak heran jika angka perceraian di negara-negara maju tersebut meningkat dari tahun ke tahun. Tingginya angka perceraian ini dapat menyebabkan perempuan kehilangan perlindungan secara finansial.
            Pandangan kaum lelaki terhadap kaum perempuan memiliki pengaruh bagaimana perempuan kemudian memandang dirinya dan dari pandangan tersebut terbentuk suatu sikap untuk melakukan tindakan sosial dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya. Orang menyebutnya sebagai bentuk budaya yang turun temurun dipraktikan sehingga banyak orang yang menerima begitu saja tanpa perlu mempertanyakan sebabnya. Sebagai contoh adalah bagaimana pandangan konvensional kebanyakan lelaki terhadap seorang perempuan idamannya, seperti kecantikan dan sifat yang dimiliki oleh perempuan tersebut. Pandangan lain dari kaum lelaki yang memengaruhi pandangan perempuan terhadap dirinya adalah pendidikan dan kedudukan. Sebenarnya bagi kaum lelaki, pendidikan dan kedudukan yang tinggi dari seorang perempuan tidaklah menjadi persoalan besar, bahkan bagi kalangan lelaki yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi tentu ingin pasangannya setara. Akan tetapi, jumlah lelaki yang memiliki pendidikan dan kedudukan demikian tidaklah terlalu banyak dan umumnya sebelum mencapai pendidikan yang tinggi dan kedudukan yang tinggi pula, mereka telah beristri. Masa sekarang kemungkinan besar, pendidikan S1 adalah pendidikan minimal, bukan lagi ‘pendidikan tinggi’ dalam pengertian masa sepuluh tahun sebelumnya. Orang yang berpendidikan tinggi dewasa ini dipandang sekurang-kurangnya berpendidikan strata dua (S2). Dengan jumlah terbatas dan ada pandangan seperti di atas, tentu mempersempit peluang kaum perempuan berpendidikan tinggi memperoleh pasangan yang setara. Adapun bagi kaum lelaki yang pendidikannya lebih rendah mungkin akan menjadi minder atau merasa malu untuk berhubungan dengan dengan kaum perempuan yang memiliki pendidikan dan kedudukan tinggi. Sebaliknya, perempuan dengan pendidikan dan kedudukan tinggi tentu lebih menginginkan pasangan yang setara dengan mereka. Ini berarti bahwa perubahan struktural tidak atau belum mampu mengalahkan faktor psiko-kultural di dalam masyarakat kita. Hal ini akan menghambat kebebasan kaum perempuan untuk berkembang setinggi-tingginya.
            Namun disamping bahasan atau wacana-wacana di atas, diakui atau tidak paham feminisme di Indonesia masih sebatas wacana dan khayalan karena belum sampai pada pengimplementasian di dalam kehidupan konkrit. Konsep feminisme di Indonesia cenderung ditujukan pada kaum perempuan yang suka berpakaian minim atau “terbuka” di bagian atas atau bagian bawah. Padahal yang dimaksud deangan feminisme adalah sebuah pergerakan agar menjadi bebas sehingga mampu menemukan eksistensi diri yang sebenarnya. Seorang perempuan dapat dikatakan feminis bila ia mampu membebaskan dirinya dari dominasi kaum lelaki dan tafsiran sosial-politik-budaya-agama yang membelenggu dirinya. Jika dilihat hingga saat ini sepertinya belum ada perempuan Indonesia yang demikian.
            Dari hal tersebut dapat dinyatakan bahwa sepertinya iklim Indonesia kurang cocok untuk kaum feminis. Faktor penyebab utama adalah ajaran agama tertentu yang cenderung membatasi gerak langkah perempuan. Adanya pernyataan bahwa “perempuan tidak pantas menjadi pemimpin” adalah salah satu contohnya, khususnya dalam ranah politik. Di saat memasuki ranah politik untuk memilih kepala daerah secara langsung yang konon menjanjikan kebebasan dan demokratisasi, isu agama masih digunakan sebagai alat politik untuk menjegal kaum perempuan agar tidak terpilih menjadi kepala daerah atau bahkan kepala pemerintahan. Akibat dari hal ini adalah akses perempuan menjadi semakin sempit dalam mengambil keputusan. Padahal banyak kebijakan politik, ekonomi bahkan agama itu sendiri mempunyai pengaruh bagi kehidupan kaum perempuan. Parahnya, perumusan dari kebijakan politik dan ekonomi seringkali tidak mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan kaum perempuan. Sebagai contoh adalah kasus busung lapar, berawal dari terbatasnya akses kaum perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Meski kaum perempuan tahu dan sadar bahwa anak-anak mereka menderita busung lapar namun kemampuan mereka sangat terbatas dalam proses pengambilan keputusan untuk menyelamatkan anak-anak mereka. Keinginan untuk melepaskan diri dari jeratan kemiskinan sulit terwujud karena mereka tidak diberi peran aktif dalam pembuatan kebijakan.
            Padahal, sebenarnya kaum perempuan di dalam komunitas masyarakat miskin mempunyai peranan yang penting dalam menyangga kehidupan rumah tangga. Cara bertahan hidup rumah tangga miskin sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan kaum perempuan, terutama ibu. Kita tahu bahwa kualitas tumbuh-kembang anak lebih tergantung pada ibu. Ibu yang mengandung, menyusui, merawat, mengasuh, mendidik, dan membesarkan anak-anaknya. Saat anak mereka sakit, para ibu tidak segan untuk berjalan kaki demi dan untuk anaknya padahal tempat sarana pelayanan kesehatan sangat jauh. Walaupun dapat kita lihat peranan ibu dalam menjaga kelangsungan hidup rumah tangga namun kemampuan kaum ibu dalam proses pengambilan keputusan sangat terbatas dan dibatasi. Akibatnya, peran kaum perempuan sebagai “penyelamat” keluarga kurang optimal. Salah satu faktor penyebabnya adalah penafisiran ajaran agama yang menganggap perempuan tidak pantas menjadi pemimpin. Padahal, cita-cita keadilan sosial, kesejahteraan dan kemakmuran sangat tergantung pada kebijakan pemimpin.
            

12 Steps to Useful Software Metrics














Fortran 2011: Brainstorming








26 Desember 2011

KTI Mawapres UJ 2011: English Presentation









KTI Mawapres UJ 2011: Presentasi Bahasa Indonesia













KTI Mawapres UJ 2011 RINGKASAN: Perspektif Pembelajaran Berpusat pada Mahasiswa


RINGKASAN:
Perspektif Pembelajaran Berpusat pada Mahasiswa (Student Center Learning)
Muhammad Fajrul Falah  (092410101018)
Program Studi Sistem Informasi- Universitas Jember

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Problematika  pendidikan  yang  terjadi  di  Indonesia  salah  satunya  adalah  terdapatnya  kesenjangan  yang  cukup  lebar  antara  pengetahuan  yang  dimiliki  para mahasiswa  dengan  sikap  dan  perilakunya.  Banyak  mahasiswa  yang  tahu  atau  hafal  materi perkuliahan,  tetapi  tidak  mampu  mengaplikasikan  pengetahuannya  tersebut  bagi peningkatan  kualitas  kehidupannya.  
Tujuan dari karya tulis ilmiah ini adalah untuk mengetahui penerapan Student Centered Learning yang baik dan benar; untuk mengetahui bisakah Student Centered Learning atau pembelajaran mandiri merubah paradigma belajar mahasiswa secara menyeluruh;dan untuk mengetahui pengaruh penerapan Student Centered Learning di bidang prestasi akademik.
Metode penulisan yang digunakan di dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah studi literatur di mana penulis mendeskripsikan atau mengkonstruksikan beberapa literature berupa pendapat-pendapat pakar dan hasil penelitian yang terpublikasi di jurnal-jurnal ilmiah. 
Pembelajaran di perguruan tinggi dapat diartikan sebagai kegiatan yang terprogram dalam desain FEE (facilitating, empowering, enabling), untuk mahasiswa belajar secara aktif yang menekankan pada sumber belajar. Dengan demikian, pembelajaran merupakan proses pengembangkan kreativitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir mahasiswa, serta dapat meningkatkan dan mengkontruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan dan pengembangan yang baik terhadap materi perkuliahan.
Pemahaman peran dari ketiga elemen utama proses pembelajaran sebagaimana diuraikan di atas, akan mampu mendukung efektivitas metode-metode pembelajaran yang masuk dalam klasifikasi model pembelajaran SCL. Adapun metode-metode yang dimaksud adalah: (1) small group discussion; (2) role-play and simulation; (3) case study; (4) discovery learning; (5) self-directed learning; (6) cooperative learning; (7) collaborative learning; (8) contextual learning; (9) project based learning; dan (10) problem based learning and inquiry.
Beberapa metode belajar yang mengacu pada belajar secara alamiah dan mengacu pada keunikan individu yang perlu dikembangkan adalah collaborative learning, problem based learning, portfolio, team project, resource-based learning (Fairuz El Said, 2010). Berbagai riset tentang SCL menunjukkan hasil yang konsisten bahwa SCL akan meningkatkan prestasi, hubungan interpersonal yang lebih positif dan self-esteem yang lebih tinggi dibanding upaya kompetitif atau individualistis (Siti Mutmainah, 2011). Siti Mutmainah. (2011) mencatat 10keberhasilan metode ini,  antara lain dari hasil riset Felder dan Brent (1996) yang menyatakan bahwa pendekatan ini meningkatkan motivasi untuk belajar, memori pengetahuan, kedalaman pemahaman dan apresiasi subyek yang diajar.
Agar pembelajaran model SCL dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien, maka yang pertama harus diubah adalah cara pandang mengenai pembelajaran itu sendiri oleh insan-insan pendidikan, sehingga tidak lagi bergantung pada satu pihak saja yaitu pengajar (dosen). Setelah hal tersebut terjadi maka desain FEE kemudian diterapkan agar mahasiswa belajar secara aktif yang menekankan pada sumber belajar sehingga mahasiswa akan dituntut untuk proaktif dalam usahanya memahami apa yang dipelajarinya.
Dengan penerapan SCL maka secara langsung maupun tidak mahasiswa yang model belajarnya awalnya teachered center learning akan berubah. Mahasiswa diharuskan untuk melakukan observasi mandiri sehingga mahasiswa akan lebih aktif dan lebih memahami  akan apa yang dipelajari, sementara dosen hanya sebagai pemandu (guide on the side).
Riset juga menunjukkan bahwa praktik SCL mengarahkan mahasiswa pada pencapaian prestasi yang lebih tinggi, proses dan pertukaran informasi lebih efisien dan efektif, meningkatkan produktivitas, hubungan yang positif di antara mahasiswa, dan membentuk saling percaya antar teman, dibandingkan dengan pengalaman pembelajaran kompetitif dan/atau individualistis.
Saran yang dapat diberikan sehubungan dengan Karya Tulis Ilmiah ini adalah agar prestasi akademik dan pemahaman mahasiswa meningkat, maka mahasiswa di awal kontak kuliah dibimbing untuk jangan hanya bergantung pada dosen dan harus bisa menciptakan cara belajar yang sesuai dengan SCL. Student Centered Learning lebih bermakna daripada penjelasan detail dari dosen, perlu diadakan penugasan tentang materi ajar yang akhirnya mengharuskan mahasiswa untuk aktif..


KTI Mawapres UJ 2011'Perspektif Student Centered Learning'

BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar belakang

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Tujuan pendidikan tinggi diatur dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan teknologi dan/atau kesenian.
2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.

Problematika pendidikan yang terjadi di Indonesia salah satunya adalah terdapatnya kesenjangan yang cukup lebar antara pengetahuan yang dimiliki para mahasiswa dengan sikap dan perilakunya. Banyak mahasiswa yang tahu atau hafal materi perkuliahan, tetapi tidak mampu mengaplikasikan pengetahuannya tersebut bagi peningkatan kualitas kehidupannya. Sebagai contoh, mahasiswa tahu bagaimana berperilaku sosial yang baik, tetapi mereka kurang mampu menghargai orang lain, bertoleransi atau berperilaku sopan. Pengetahuan menjadi sesuatu yang hanya dihafal saja tetapi tidak terpengaruh dalam kehidupannya. Pengetahuan hanya 'mampir' sebentar dan kemudian 'menguap' begitu saja, seolah tidak berbekas dalam kehidupan mahasiswa.

Bisa dikatakan mahasiswa Indonesia menganggap kuliah merupakan sumber pengatahuan utama, bahkan satu-satunya, sehingga catatan kuliah merupakan jimat yang ampuh dan dosen merupakan dewa pengetahuan. Lingkungan belajar seperti ini menempatkan dosen menjadi seperti tukang sulap yang kelihatan pintar tetapi hanya karena mengetahui muslihat-muslihat (tricks) yang sengaja disembunyikannya dan kemudian menjual pengetahuan tersebut melalui loket kuliah. Kekeliruan persepsi ini bukan semata-mata kesalahan mahasiswa, persepsi tersebut dapat timbul justru dari sikap dosen yang secara tidak sadar telah menciptakan kondisi demikian. Akibatnya, mahasiswa kebanyakan mempunyai perilaku untuk hanya datang, duduk,dengar dan catat (D3C). Catatan kuliah dianggap sumber pengetahuan dan bahkan kalau perlu mahasiswa tidak usah datang ke kuliah tetapi cukup dengan mengkopi saja catatan mahasiswa yang lain. Karena pendekatan pengendalian proses belajar-mengajar di kelas yang kurang mendukung, banyak mahasiswa yang merasa nyaman menjadi "mesin dengar kopi". Kalau tujuan individual ingin dicapai secara efektif, maka arti kuliah harus diredefinisi dan dilaksanakan secara konsekuen.

Apabila kita amati cara-cara seseorang dalam belajar, tampak bahwa terdapat variasi di dalam cara belajarnya. Ada yang belajar sambil berada pada kondisi yang ramai, misalnya mendengarkan musik atau menonton televisi. Sebaliknya, ada yang hanya dapat belajar bila suasana sunyi sehingga suara berisik sedikit saja menjadi gangguan dan merusak konsentrasi. Ada pula yang dapat memahami materi hanya dengan duduk tenang, mendengarkan dosen menjelaskan materi perkuliahan. Namun, ada cara belajar dengan membaca berulang-ulang sehingga ada yang betah dalam waktu relatif lama membaca buku di perpustakaan. Variasi cara belajar lain adalah mendiskusikan setiap materi yang sedang berusaha dipelajari, yang berimplikasi pada waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut. Bahkan, ada lagi yang tidak hanya mencatat tetapi mencorat-coret catatannya sedemikian rupa bak ingin memvisualisasikan pemahamannya. Secara umum tipe belajar seseorang dapat diklasifikasikan menjadi :
1. VISUAL yaitu tipe melihat, mudah menghafal syair, lebih mengerti kalau membaca, lebih ingat akan nama teman meskipun panjang berderet-deret.
2. KINESTHETIC yaitu tipe melakukan, mudah menghafal gerakan tari, lebih mengerti jika coba sendiri, suka mencoba hal baru, aktif gerak.
3. AUDITORY yaitu tipe mendengarkan, mudah menghafal nada lagu, lebih mengerti jika diterangkan, suka menggumamkan nada meski baru mendengarnya, lebih mudah ingat akan suara teman.


Perubahan paradigma dalam proses pembelajaran yang tadinya berpusat pada dosen (teacher/lecturer centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (learner centered) diharapkan dapat mendorong mahasiswa untuk terlibat secara aktif dalam membangun pengetahuan, sikap dan perilaku. Melalui proses pembelajaran dengan keterlibatan aktif mahasiswa ini berarti dosen tidak mengambil hak manusia untuk belajar dalam arti yang sesungguhnya. Dalam proses pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa, maka mahasiswa memperoleh kesempatan dan fasilitas untuk membangun sendiri pengetahuannya sehingga mereka akan memperoleh pemahaman yang mendalam (deep learning), dan pada akhirnya dapat meningkatkan mutu kualitas mahasiswa.

Universitas Jember merupakan salah satu perguruan tinggi yang memberlakukan metode pembelajaran student center learning yaitu pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa atau pada peserta didik (belajar mandiri). Mahasiswa menerima pokok materi di pertemuan awal (biasanya pada presentasi Kontrak Perkuliahan), kemudian mahasiswa dibebaskan untuk melakukan observasi mengenai materi yang akan dipelajari. Pada pertemuan/ perkuliahan selanjutnya mahasiswa biasanya diwajibkan untuk mempresentasikan hasil observasi/ belajarnya kepada teman-temannya di kelas, kemudian diadakan diskusi mengenai materi tersebut sementara dosen bertindak sebagai mediator sekaligus moderator. Dosen juga bertugas mengevaluasi diskusi tersebut.


1.2 Perumusan masalah

1. Bagaimana seharusnya Student Centered Learning diterapkan?
2. Bagaimana Student Centered Learning atau pembelajaran mandiri ini benar-benar bisa merubah paradigma belajar mahasiswa secara menyeluruh?
3. Bagaimana pengaruh penerapan Student Centered Learning di bidang prestasi akademik?


1.3 Uraian singkat

Banyak sekali model pembelajaran yang diterapkan dan dikembangkan di dunia pendidikan Indonesia, salah satunya adalah Student Centered Learning. Apakah sebenarnya Student Centered Learning itu? dan bagaimana penerapannya di dunia pendidikan Indonesia. Dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain seperti model Teacher Centered Learning Student Teams - Achievement Divisions (STAD) memang Student Centered Learning unggul di beberapa hal. Namun mampukah Student Centered Learning merubah paradigma belajar di Indonesia.






1.4 Tujuan

1. Untuk mengetahui penerapan Student Centered Learning yang baik dan benar.
2. Untuk mengetahui bisakah Student Centered Learning atau pembelajaran mandiri merubah paradigma belajar mahasiswa secara menyeluruh.
3. Untuk mengetahui pengaruh penerapan Student Centered Learning di bidang prestasi akademik.


1.5 Manfaat

1. Memberikan informasi dan bahan pertimbangan kepada penyelenggara pendidikan untuk menentukan kebijakan dalam pengembangan prestasi akademik.
2. Sebagai masukan bagi para peserta didik dalam mengolah strategi belajar.
3. Memberikan informasi mengenai manfaat dan kelemahan Student Centered Learning.
4. Sebagai tambahan informasi argumentative dan referensi bagi peneliti selanjutnya.









BAB 2
TELAAH PUSTAKA


2.1 Penelitian tentang belajar

Pembelajaran merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan prilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dan pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidikan untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.

Dalam proses pembelajaran setidaknya harus melibatkan dua komponen yang saling terkait satu sama lain, yaitu pendidik dan peserta didik. Kedua komponen tersebut satu sama lain saling terkait untuk menciptakan interaksi edukasi guna mencapai suatu tujuan pendidikan. Satu sama lain harus memiliki sense dan point of view yang sama dalam memaknai arti pendidikan. Guru sebagai pendidik berusaha bagaimana mendidik dan menyampaikan materi ajar dengan baik; mahasiswa (peserta didik) sebagai pembelajar harus mengimbangi dengan menjadi pelajar yang baik dan mampu memposisikan diri sesuai tugas dan fungsinya, untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Menurut UU no.20 tahun 2003 pasal 3 tujuan pendidikan nasional adalah "mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan, bertujuan untuk berkembangnya potensi agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat jasmani dan rohani, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab". Sebuah harapan yang sangat indah dan ideal sekaligus amanah yang amat sangat besar yang harus diemban oleh insan-insan pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan sebagaimana digariskan UU tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Optimalisasi usaha-usaha semua pihak sangat menentukan apakah tujuan pendidikan secara nasional dapat terwujud atau justru hanya mimpi.

Ungkapan yang mengatakan 'Nothing impossible in the world", "Where is will there is way" akan menjadi kenyataan jika semua komponen menyadari peran dan fungsinya. Dari kesadaran akan muncul positive behavior dan positive thought serta secara bersama-sama berusaha melakukan usaha optimal untuk mencapai target dan tujuan pendidikan yang diimpikan.

Pengembangan pendidikan khususnya metode belajar/ pembelajaran sangat diperlukan di era global ini selain untuk mengimbangi kemajuan teknologi dan pertumbuhan penduduk, pendidikan juga digunakan sebagai patokan untuk menilai apakah kesejahteraan rakyat sudah mencapai ketentuan atau tidak.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari tahu bagaimana sebetulnya seseorang itu belajar. David A. Kolb seorang profesor dalam bidang Perilaku Organisasi mengemukakan bahwa sesungguhnya berdasarkan gayanya dalam belajar, manusia dapat dikategorikan ke dalam 4 tipe. Ke-4 tipe yang dimaksud adalah activist, pragmatist, refectors, dan theorists. Kolb terinspirasi oleh seorang tokoh dalam bidang psikologi yang bernama Kurt Lewin yang mengajukan konsep mengenai 'adult learning' atau prinsip belajar orang dewasa yang dikenal juga dengan istilah experiential learning atau belajar berdasarkan pengalaman. Prinsip belajar berdasarkan pengalaman ini digunakan untuk menjelaskan proses belajar yang kita alami di dalam kehidupan sehari-hari(Rahmini Hadi,2007) .

Menurut John Dewey, pembelajaran sejati adalah lebih berdasar pada penjelajahan yang terbimbing dengan pendampingan daripada sekedar transmisi pengetahuan. Pembelajaran merupakan individual discovery. Pendidikan memberikan kesempatan dan pengalaman dalam proses pencarian informasi, menyelesaikan masalah dan membuat keputusan bagi kehidupannya sendiri. Melalui proses pembelajaran yang berpusat pada siswa maka fungsi guru berubah dari pengajar (teacher) menjadi mitra pembelajaran (fasilitator) (Tina Afiatin,2011).


2.2 Teacher Centered Learning (TCL)

Pelaksanaan pembelajaran pada hampir semua program studi perguruan tinggi di Indonesia masih bersifat satu arah, yaitu pemberian materi oleh dosen. Sistem pembelajaran tersebut dikenal dengan model Teacher Centereded Learning (TCL), yang ternyata membuat mahasiswa pasif karena hanya mendengarkan kuliah sehingga kreativitas mereka kurang terpupuk atau bahkan cenderung tidak kreatif. Pada sistem pembelajaran model TCL, dosen lebih banyak melakukan kegiatan belajar-mengajar dengan bentuk ceramah (lecturing) (Rahmini Hadi,2007). Pada saat mengikuti kuliah atau mendengarkan ceramah, mahasiswa sebatas memahami sambil membuat catatan, bagi yang merasa memerlukannya. Dosen menjadi pusat peran dalam pencapaian hasil pembelajaran dan seakan-akan menjadi satu-satunya sumber ilmu. Model ini berarti memberikan informasi satu arah karena yang ingin dicapai adalah bagaimana dosen bisa mengajar dengan baik sehingga yang ada hanyalah transfer pengetahuan (Rahmini Hadi,2007).

Perbaikan untuk model pembelajaran TCL telah banyak dilakukan, antara lain mengkombinasikan lecturing dengan tanya jawab dan pemberian tugas. Walaupun sudah ada perbaikan, tetapi hasil yang dihasilkan masih dianggap belum optimal. Pola pembel`jaran dosen aktif dengan mahasiswa pasif ini mempunyai efektivitas pembelajaran rendah. Hal tersebut setidaknya tampak pada 2 hal. Pertama, dosen sering hanya mengejar target waktu untuk menghabiskan materi pembelajaran. Kedua, pada saat-saat mendekati ujian, di mana aktivitas mahasiswa "berburu" catatan maupun literatur kuliah, serta aktivitas belajar mereka mengalami kenaikan yang sangat signifikan, namun turun kembali secara signifikan pula setelah ujian selesai.

Implikasi lain dari model pembelajaran TCL adalah dosen kurang mengembangkan bahan kuliah dan cenderung seadanya (monoton), terutama jika mahasiswanya cenderung pasif dan hanya sebagai penerima transfer ilmu. Dosen mulai tampak tergerak untuk mengembangkan bahan kuliah dengan banyak membaca jurnal atau download artikel hasil-hasil penelitian terbaru dari internet, jika mahasiswanya mempunyai kreativitas tinggi, banyak bertanya, atau sering mengajak diskusi. Namun, karena model pembelajaran TCL pada akhirnya "lebih mengkondisikan" mahasiswa pasif dan hanya sebagai penerima transfer saja, maka dosen pun menjadi kurang termotivasi untuk mengembangkan bahan kuliahnya.

2.3 Student Centered Learning (SCL)

Oleh karena model pembelajaran TCL ditemukan banyak kelemahan, maka sistem tersebut perlu diubah ke arah sistem pembelajaran dengan model Students Centered Learning (SCL). Pada model pembelajaran SCL mahasiswa dituntut aktif mengerjakan tugas dan mendiskusikannya dengan dosen sebagai fasilitator. Dengan aktifnya mahasiswa, maka kreativitas mahasiswa akan terpupuk. Kondisi tersebut akan mendorong dosen untuk selalu mengembangkan dan menyesuaikan materi kuliahnya dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang menyediakan banyak cara untuk mendapatkan informasi sumber belajar, memberikan peluang untuk mengembangkan metode-metode pembelajaran baru secara optimal sehingga mendukung upaya mewujudkan kompentensi yang diharapkan. Kemajuan ICT juga memungkinkan mahasiswa melakukan kegiatan belajar tidak hanya secara formal, tetapi belajar melalui berbagai media atau sumber. Dengan demikian dosen bukan lagi sebagai sumber belajar utama, melainkan sebagai "mitra pembelajaran".

SCL atau Student Centered Learning merupakan pendekatan dalam pembelajaran yang memfasilitasi pembelajar untuk terlibat dalam proses experiential learnig. Bila pembelajar itu dapat dikategorikan ke dalam tipe-tipe activist, reflector, theorist, dan pragmatist, berarti pendekatan SCL tersebut merupakan metode yang dapat memfasilitasi pembelajar, dalam hal ini mahasiswa sehingga secara langsung ataupun tidak dapat terlibat dalam proses pembelajaran (Rahmini Hadi, 2007).

Model pembelajaran SCL, pada saat ini diusulkan menjadi metode pembelajaran yang sebaiknya digunakan karena memiliki beberapa keunggulan yaitu: (1) mahasiswa atau peserta didik akan dapat merasakan bahwa pembelajaran menjadi miliknya sendiri karena mahasiswa diberi kesempatan yang luas untuk berpartisipasi; (2) mahasiswa memiliki motivasi yang kuat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran; (3) tumbuhnya suasana demokratis dalam pembelajara sehingga akan terjadi dialog dan diskusi untuk saling belajar-membelajarkan di antara mahasiswa; (4) dapat menambah wawasan pikiran dan pengetahuan bagi dosen atau pendidik karena sesuatu yang dialami dan disampaikan mahasiswa mungkin belum diketahui sebelumnya oleh dosen (Rahmini Hadi, 2007).

Keunggulan-keunggulan yang dimiliki model pembelajaran SCL tersebut akan mampu mendukung upaya ke arah pembelajaran yang efektif dan efisien yang dicirikan oleh (1) relevansi dan real world; (2) organisasi: sequencedan cumulative effects; (3) praktik; (4) transfer dan transformasi; (5) motivasi; (6) makna atau eksplorasi; (7) hasil dan umpan balik.

2.4 Prinsip Student Centered Learning

Bekal bagi para pendidik untuk dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator salah satunya adalah memahami prinsip pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Ada lima faktor yang penting diperhatikan dalam prinsip psikologis pembelajaran berpusat pada mahasiswa, yaitu: (a) Faktor Metakognitif dan kognitif yang menggambarkan bagaimana siswa berpikir dan mengingat, serta penggambaran faktor-faktor yang terlibat dalam proses pembentukan makna informasi dan pengalaman; (b) Faktor Afektif yang menggambarakan bagaimana keyakinan, emosi, dan motivasi mempengaruhi cara seseorang menerima situasi pembelajaran, seberapa banyak orang belajar, dan usaha yang mereka lakukan untuk mengikuti pembelajaran. Kondisi emosi seseorang, keyakinannya tentang kompetensi pribadinya, harapannya terhadap kesuksesan, minat pribadi, dan tujuan belajar, semua itu mempengaruhi bagaimana motivasi mahasiswa untuk belajar; (c) Faktor Perkembangan yang menggambarkan bahwa kondisi fisik, intelektual, emosional, dan sosial dipengaruhi oleh faktor genetik yang unik dan faktor lingkungan; (d) Faktor Pribadi dan sosial yang menggambarkan bagaimana orang lain berperan dalam proses pembelajaran dan cara-cara orang belajar dalam kelompok. Prinsip ini mencerminkan bahw a dalam interaksi sosial, orang akan saling belajar dan dapat saling menolong melalui saling berbagi perspektif individual; (e). Faktor Perbedaan Individual yang menggambarkan bagaimana latar belakang individu yang unik dan kapasitas masing -masing berpengaruh dalam pembelajaran. Pinsip ini membantu menjelaskan mengapa individu mempelajari sesuatu yang berbeda, waktu yang berbeda, dan dengan cara-cara yang berbeda pula.








BAB 3
METODE PENULISAN


3.1 Metode penulisan

Metode penulisan yang digunakan di dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah studi literatur di mana penulis mendeskripsikan atau mengkonstruksikan beberapa literature berupa pendapat-pendapat pakar dan hasil penelitian yang terpublikasi di jurnal-jurnal ilmiah.

















BAB 4
ANALISIS DAN SINTESIS


4.1 Penerapan SCL yang dianjurkan di Perguruan Tinggi

Pembelajaran di perguruan tinggi dapat diartikan sebagai kegiatan yang terprogram dalam desain FEE (facilitating, empowering, enabling), untuk mahasiswa belajar secara aktif yang menekankan pada sumber belajar. Dengan demikian, pembelajaran merupakan proses pengembangkan kreativitas berpikiryang dapat meningkatkan kemampuan berpikir mahasiswa, serta dapat meningkatkan dan mengkontruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan dan pengembangan yang baik terhadap materi perkulihan.

SCL adalah pembelajaran yang berpusat pada aktivitas belajar mahasiswa, bukan hanya pada aktivitas dosen mengajar. Hal ini sesuai dengan model pembelajaran yang terprogram dalam desain FEE. Situasi pembelajaran dalam SCL di antaranya bercirikan:

1. Mahasiswa belajar baik secara individu maupun berkelompok untuk membangun pengetahuan, dengan cara mencari dan menggali sendiri informasi dan teknologi yang dibutuhkan secara aktif daripada sekadar menjadi penerima pengetahuan secara pasif;

2. Dosen lebih berperan sebagai FEE dan guides on the sides daripada sebagai mentor in the centered, yaitu membantu mahasiswa mengakses informasi, menata dan mentransfernya guna menemukan solusi terhadap permasalahan nyata sehari-hari, daripada sekadar sebagai gatekeeper of information;

3. Mahasiswa tidak sekadar kompeten dalam bidang ilmunya, tetapi juga kompeten dalam belajar. Artinya, mahasiswa tidak hanya menguasai isi matakuliahnya, tetapi mereka juga belajar tentang bagaimana belajar (learn how to learn), melalui discovery, inquiry, dan problem solving dan terjadi pengembangan;

4. Belajar menjadi kegiatan komunitas yang difasilitasi oleh dosen, yang mampu mengelola pembelajarannya menjadi berorientasi pada mahasiswa;

5. Belajar lebih dimaknai sebagai belajar sepanjang hayat (life long learning), suatu ketrampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja;

6. Belajar termasuk memanfaatkan teknologi yang tersedia, baik berfungsi sebagai sumber informasi pembelajaran maupun sebagai alat untuk pemberdayaan mahasiswa dalam mencapai ketrampilan utuh (intelektual, emosional, dan psikomotor) yang dibutuhkan.

Sebuah perguruan tinggi yang menerapkan metode pembelajaran dengan model SCL mempunyai beberapa karakteristik yang dapat kita temui antara lain:
a) Adanya berbagai aktivitas dan tempat belajar;
b) Display hasil karya mahasiswa;
c) Tersedia banyak materi belajar;
d) Tersedia banyak tempat yang nyaman untuk diskusi/bercengkerama;
e) Terjadi kelompok-kelompok dan interaksi multi-angkatan;
f) Ada keterlibatan dunia bisnis/industri dan masyarakat lainnya;
g) Jam buka perpustakaan fleksibel.

Peran dosen dalam proses pembelajaran model SCL memiliki peran yang penting dalampelaksanaan model SCL yaitu meliputi:
a) Bertindak sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran;
b) Mengkaji kompetensi matakuliah yang perlu dikuasai mahasiswa di akhir pembelajaran;
c) Merancang strategi dan lingkungan pembelajaran yang dapat menyediakan beragam pengalaman belajar yang diperlukan mahasiswa dalam rangka mencapai kompetensi yang dituntut matakuliah;
d) Membantu mahasiswa mengakses informasi, menata dan memprosesnya untuk dimanfaatkan dalam pemecahan permasalahan sehari hari;
e) Mengidentifikasi dan menentukan pola penilaian hasil belajar mahasiswa yang relevan dengan kompetensi yang akan diukur.

Dalam pelaksanaan model pembelajaran ini mahasiswa juga mempunyai peranan yang tidak kalah penting karena mahaiswa termasuk salah satu yang ikut menentukan proses pembelajaran model ini berhasil atau tidak. Peran mahasiswa meliputi:
a) Mengkaji kompetensi matakuliah yang dipaparkan dosen;
b) Mengkaji strategi pembelajaran yang ditawarkan dosen;
c) Membuat rencana pembejaran untuk matakuliah yang diikuti;
d) Belajar secara aktif (dengan cara mendengar, membaca, menulis, diskusi, dan terlibat dalam pemecahan masalah serta lebih penting lagi terlibat dalam kegiatan berpikir tingkat tinggi, seperti analisis, sintesis dan evaluasi), baik secara individu maupun kelompok.

Agar pembelajaran model SCL dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien, maka perguruan tinggi juga mempunyai peranan sebagai berikut:
a) Mengkaji kurikulum, program pembelajaran dan sistem penilaian hasil belajar yang mengacu pada SCL;
b) Membuat kebijakan tentang sosialisasi dan penerapan SCL di institusinya;
c) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif untuk terlaksananya SCL dengan menciptakan networking dengan dunia kerja, lembaga-lembaga masyarakat, atau instansi yang terkait;
d) Membenahi pola pikir (mindset) pada dosen dan pengelola program pendidikan pada umumnya tentang pentingnya mengubah paradigma mengajar berorientasi pada dosen semata pada pola pembelajaran yang berorientasi pada mahasiswa, yang dicirikan dengan adanya interaksi yang positif dan konstruktif antara dosen dan mahasiswa dalam membangun pengetahuan;
e) Melatih dan memberikan dukungan yang penuh kepada para dosen dalam menerapkan SCL dalam proses pembelajaran;
f) Memanfaatkan perencanaan pembelajaran yang berorientasi SCL, yang dikembangkan para dosen, dalam pengadaan sarana dan prasarana pendukung pembelajaran;
g) Menciptakan sistem yang memungkinkan dosen dan seluruh civitas akademika dapat berkomunikasi dan berkoordinasi serta akses terhadap IT (information technology).

Pemahaman peran dari ketiga elemen utama proses pembelajaran sebagaimana diuraikan di atas, akan mampu mendukung efektivitas metode-metode pembelajaran yang masuk dalam klasifikasi model pembelajaran SCL. Adapun metode-metode yang dimaksud adalah: (1) small group discussion; (2) role-play and simulation; (3) case study; (4) discovery learning; (5) self-directed learning; (6) cooperative learning; (7) collaborative learning; (8) contextual learning; (9) project based learning; dan (10) problem based learning and inquiry.

Peningkatan mutu proses pembelajaran berbasis SCL dan peningkatan suasana akademik yang sehat dan kondusif mempunyai tujuan antara lain: mempersingkat masa studi, meningkatkan IPK, meningkatkan kemampuan problem solving, dan mempersingkat lama waktu penyelesaian tugas akhir.

Program pengembangan peningkatan suasana akademik yang sehat dan kondusif bertujuan meningkatkan keterlibatan mahasiswa dalam penelitian, pertemuan ilmiah bersama dosen; pengembangan kapasitas dosen di bidang penulisan dan publikasi ilmiah; meningkatkan kuantitas dan kualitas pengabdian masyarakat dosen bersama mahasiswa; pengembangan study club dan media komunikasi.


4.2 Perubahan paradigma belajar dan pengaruhnya kepada prestasi akademik

Jika seorang berpikir bahwa ia sedang bersenang-senang ketika ia sedang belajar, maka ia akan lupa bahwa ia sedang belajar dan dengan sendirinya akan menikmati dan mendapatkan banyak manfaat. Ungkapan penulis ini merupakan ungkapan yang sering terlupakan oleh pendidik. Penerapan kedisiplinan dengan cara yang salah, kurikulum standar dan sebagainya yang membuat anak tidak memiliki pilihan sendiri tentunya tidak akan membuat peserta didik merasa sedang bersenang-senang, karena tidak sesuai dengan apa yang disukainya.

Beberapa metode belajar yang mengacu pada belajar secara alamiah dan mengacu pada keunikan individu yang perlu dikembangkan adalah collaborative learning, problembased learning, portfolio, team project, resource-based learning (Fairuz El Said, 2010). Metode-metode ini menekankan pada hal-hal seperti kerjasama tim, diskusi, jawaban-jawaban terbuka, interaktivitas, mengerjakan proyek nyata bukan hanya menghafal, serta belajar cara untuk belajar, bukan hanya memperoleh ilmu pengetahuan dan sebagainya.

Untuk menunjang metode belajar yang memberi kesempatan bagi peserta didik untuk mengenali permasalahan, serta menggali informasi sebanyak mungkin secara mandiri, akses informasi tidak boleh lagi dibatasi hanya pada dosen, buku wajib serta perpustakaan lokal saja. Peserta didik perlu ditunjang dengan akses tanpa batas ke pelbagai sumber informasi, antara lain industri, organisasi sosial maupun profesi, media massa, para ahli dalam bidang masing-masing, bahkan dari masyarakat, keluarga maupun sesama peserta didik. Perkembangan teknologi informasi bahkan memungkinkan tersedianya akses ke pelbagai informasi global ke seluruh dunia, melalui akses ke perpustakaan maya, museum maya, pangkalan-pangkalan data di web, atau bahkan kemungkinan untuk dapat berhubungan langsung dengan para ahli internasional.

Untuk mendukung perubahan serta kebutuhan yang diperlukan dalam menerapkan konsep SCL secara maksimal, perlu adanya infrastruktur yang menunjang. Jaringan kerjasama antar institusi baik pendidikan maupun non pendidikan secara nasional, regional maupun internasional akan sangat mendukung terbukanya kesempatan untuk belajar diluar batasan dinding sekolah atau budaya sehingga lebih memperkaya pengertian akan perbedaan sekaligus menambah wawasan ilmu pengetahuan menjadi lebih tak terbatas. Fasilitas pendamping pendidikan seperti perpustakaan, museum sekolah, laboratorium, pusat komputer maupun layanan administrasi yang memudahkan, responsif, simpatik, serta mengacu pada kepuasan dan kebutuhan peserta didik, akan sangat
mendukung terciptanya budaya SCL.

Berbagai riset tentang SCL menunjukkan hasil yang konsisten bahwa SCL akan meningkatkan prestasi, hubungan interpersonal yang lebih positif dan self-esteem yang lebih tinggi dibanding upaya kompetitif atau individualistis (Siti Mutmainah, 2011). Siti Mutmainah. (2011) mencatat keberhasilan metode ini 10 antara lain dari hasil riset Felder dan Brent (1996) yang menyatakan bahwa pendekatan ini meningkatkan motivasi untuk belajar, memori pengetahuan, kedalaman pemahaman dan apresiasi subyek yang diajar. Riset juga menunjukkan bahwa praktik SCL mengarahkan mahasiswa pada pencapaian prestasi yang lebih tinggi, lebih efisien dan efektifnya proses dan pertukaran informasi, meningkatkan produktivitas, hubungan yang positif di antara mahasiswa, dan membentuk saling percaya antar teman, dibandingkan dengan pengalaman pembelajaran kompetitif dan/atau individualistis.

Jika semua aspek yang mendukung lancarnya pelaksanaan SCL maka yang akan dihasilkan tidak hanya mahasiswa yang mampu memahami materi yang ia pelajari, namun juga mahasiswa yang dapat melaksanakan dan mengabdikan apa yang ia dapat di perkuliahan kepada masyarakat. Sehingga bukan hanya prestasi akademik yang meningkat seperti yang diharapkan namun juga manfaat akan ilmu bagi masyarakat sebagai nilai tambahnya. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa selain dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa yang dibuktikan dengan indeks prestasi kumulatif (IPK), SCL juga dapat meningkatkan kemampuan noncognitive, perilaku, toleransi dan dukungan bagi mahasiswa lain.





















BAB 5
PENUTUP


5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil tinjauan pustaka dan pembahasan analisis dan sintesis dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Agar pembelajaran model SCL dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien, maka yang pertama harus diubah adalah cara pandang mengenai pembelajaran itu sendiri oleh insan-insan pendidikan, sehingga tidak lagi bergantung pada satu pihak saja yaitu pengajar (dosen). Setelah hal tersebut terjadi maka desain FEE kemudian diterapkan agar mahasiswa belajar secara aktif yang menekankan pada sumber belajar sehingga mahasiswa akan dituntut untuk proaktif dalam usahanya memahami apa yang dipelajarinya.

2. Dengan penerapan SCL maka secara langsung maupun tidak mahasiswa yang model belajarnya awalnya teachered center learning akan berubah. Mahasiswa dipaksa untuk melakukan observasi mandiri sehingga mahasiswa akan lebih aktif dan lebih memahami akan apa yang dipelajari, sementara dosen hanya sebagai pemandu (guide on the side).

3. Riset juga menunjukkan bahwa praktik SCL mengarahkan mahasiswa pada pencapaian prestasi yang lebih tinggi, lebih efisien dan efektifnya proses dan pertukaran informasi, meningkatkan produktivitas, hubungan yang positif di antara mahasiswa, dan membentuk saling percaya antar teman, dibandingkan dengan pengalaman pembelajaran kompetitif dan/atau individualistis.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan sehubungan dengan Karya Tulis Ilmiah ini adalah:
a) Agar prestasi akademik dan pemahaman mahasiswa meningkat, maka mahasiswa di awal kontak kuliah dibimbing untuk jangan hanya bergantung pada dosen dan harus bisa menciptakan cara belajar yang sesuai dengan SCL.
b) Student Centered Learning lebih bermakna daripada penjelasan detail dari dosen, perlu diadakan penugasan tentang materi ajar yang akhirnya memaksa mahasiswa untuk aktif..



















DAFTAR PUSTAKA

CL sebagai Model Pembelajaran (online). http://tpcommunity05.blogspot.com. Diakses tanggal 17 April 2011.
Dewajani, Sylvi. 2006. "Student Centered Learning", Materi Lokakarya Peningkatan Kualitas Teknik Pembelajaran Student Center Learning. Yogyakarta: Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Gadjah Mada.
Ditjen Dikti Depdiknas. 2004. Tanya Jawab Seputar Unit dan Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional.

Fairuz El Said.2010. Pendidikan - Konsep SCL (Student-Centered Learning) (online). http://fairuzelsaid.wordpress.com. Diakses tanggal 19 April 2011.
Harsono. 2005. "Aplikasi SCL dalam Proses Pembelajaran" dalam www.belajar. usd.ac.id/. Diakses tanggal 17 April 2011.
Ibrahim, M. 2000 Pembelajaran koperatif. Surabaya Unesa Press.
Isjoni, 2007. Cooperative Learning: Efektifitas pembelajaran berkelompok. Bandung Alfabeta.
Rahmini Hadi. 2007. Dari Teacher-Centered Learning ke Student-Centereded Learning: Perubahan Metode Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Purwokerto: Insania.
Ramdhani Neila. 2006, "Ruh Experiential Learning dalam SCL". (online). http://neila.staff.ugm.ac.id/?pilih=lihat&id=10. Diakses tanggal 17 April 2011.
Siti Mutmainah. 2011. Pengaruh Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif Berbasis Kasus yang Berpusat pada Mahasiswa Terhadap Efektivitas Pembelajaran Akuntansi Keperilakuan (online). http://eprints.undip.ac.id/17165/1/SNA11Mutamimah.pdf. diakses pada 19 April 2011.
Sudjana S., D. 2005. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Falah Production.
Tina Afiatin . 2011. Pembelajaran berbasis student-centered learning . Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.